Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya menyatakan bahwa gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) merupakan hak setiap warga negara. Gugatan ini diajukan terkait aturan suksesi otomatis wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah jika meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Menanggapi gugatan yang dilayangkan oleh anggota DPRD Papua periode 2024-2029, Yeyen, Bima Arya menegaskan, “Itu bagian dari hak warga negara.” Ia menyampaikan hal tersebut kepada wartawan pada Rabu, 24 Desember 2025.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Bima Arya menyerahkan sepenuhnya keputusan atas gugatan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Ia meyakini hakim konstitusi akan menimbang secara cermat materi gugatan yang diajukan. “Tinggal nanti akan dibuktikan oleh MK apakah memiliki legal standing atau kedudukan hukum yang jelas terkait materi gugatan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bima Arya menegaskan bahwa mekanisme penggantian kepala daerah yang berhenti karena meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan telah diatur secara jelas dalam Pasal 173 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Bunyi Pasal 173 UU Pilkada
(1) Dalam hal Gubernur, Bupati, dan Walikota berhenti karena:
- a. meninggal dunia;
- b. permintaan sendiri; atau
- c. diberhentikan;
maka Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
(2) DPRD Provinsi menyampaikan usulan pengesahan pengangkatan Wakil Gubernur menjadi Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden melalui Menteri untuk disahkan pengangkatannya sebagai Gubernur.
(3) Dalam hal DPRD Provinsi tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Gubernur berhenti, Presiden berdasarkan usulan Menteri mengesahkan pengangkatan Wakil Gubernur sebagai Gubernur berdasarkan:
- a. surat kematian;
- b. surat pernyataan pengunduran diri dari Gubernur; atau
- c. keputusan pemberhentian.
(4) DPRD Kabupaten/Kota menyampaikan usulan pengangkatan dan pengesahan Wakil Bupati/Wakil Walikota menjadi Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri melalui Gubernur untuk diangkat dan disahkan sebagai Bupati/Walikota.
(5) Dalam hal DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak Bupati/Walikota berhenti, Gubernur menyampaikan usulan kepada Menteri dan Menteri berdasarkan usulan Gubernur mengangkat dan mengesahkan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagai Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal Gubernur tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan dari DPRD Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri berdasarkan usulan DPRD Kabupaten/Kota mengangkat dan mengesahkan Wakil Bupati/Wakil Walikota sebagai Bupati/Walikota.
(7) Dalam hal Gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota tidak menyampaikan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Menteri mengesahkan pengangkatan Wakil Bupati/Wakil Walikota menjadi Bupati/Walikota berdasarkan:
- a. surat kematian;
- b. surat pernyataan pengunduran diri dari Bupati/Walikota; atau
- c. keputusan pemberhentian.
(8) Ketentuan mengenai tata cara pengisian Gubernur, Bupati, dan Walikota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Gugatan terhadap UU Pilkada ini sebelumnya diajukan oleh Yeyen, anggota DPRD Papua periode 2024-2029. Ia meminta MK untuk mengubah aturan agar wakil kepala daerah tidak secara otomatis naik jabatan ketika kepala daerah meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.
Berdasarkan penelusuran di situs resmi MK pada Selasa, 23 Desember, gugatan Yeyen teregister dengan nomor perkara 266/PUU-XXIII/2025. Dalam permohonannya, Yeyen merasa dirugikan sebagai anggota DPRD Papua karena tidak diberikan kewenangan untuk menentukan pengisian jabatan gubernur dalam kondisi tersebut. Ia berpendapat, “Pengisian jabatan Gubernur melalui mekanisme penggantian otomatis oleh Wakil Gubernur telah meniadakan prinsip pemilihan kepala daerah secara demokratis, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945.”
Yeyen menilai, UU Pilkada hanya memberikan kewenangan kepada DPRD untuk mengesahkan pengangkatan wakil kepala daerah menjadi kepala daerah, tanpa hak menguji atau menentukan kelayakan. Ia menganggap aturan ini mencederai asas demokrasi. “Merugikan Pemohon sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi untuk menjaga demokrasi dalam memilih pengganti Gubernur yang berhenti, di mana DPRD Provinsi hanya sebagai administrator yang mengusulkan pengangkatan tanpa adanya hak menguji dan/atau menentukan kelayakan serta memilih pengganti Gubernur demi mewujudkan terlaksananya Pemerintahan yang demokratis untuk kesejahteraan rakyat,” tegasnya.






