PT Super Bank Indonesia Tbk (SUPA) menyatakan prospek industri perbankan digital di Indonesia masih sangat terbuka lebar. Optimisme ini didasari oleh rendahnya tingkat penetrasi bank digital dan tingginya adopsi layanan berbasis teknologi di masyarakat, yang menjadi landasan perseroan untuk mendorong pertumbuhan jangka panjang.
Direktur Utama Super Bank Indonesia, Tigor Siahaan, mengungkapkan bahwa pangsa pasar seluruh bank digital di Indonesia saat ini masih sangat kecil. “Kalau kita lihat, market share seluruh bank digital di Indonesia mungkin baru sekitar 1%. Artinya, pool pasarnya masih sangat besar,” ujar Tigor saat konferensi pers usai pencatatan saham di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Menurut Tigor, perubahan perilaku masyarakat yang semakin bergantung pada layanan digital menjadi katalis utama pertumbuhan bank digital. Kemudahan akses, transparansi, serta keamanan layanan menjadi faktor kunci yang semakin dicari nasabah. “Sekarang semua orang pakai handphone. Kemudahan, layanan yang simpel, transparan, dan aman menjadi sangat penting,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, manajemen Superbank memandang peluang bisnis perbankan digital tidak hanya dalam jangka pendek. “Kami melihat peluang ini bukan hanya satu tahun ke depan, tetapi tiga, lima, bahkan 10 hingga 20 tahun ke depan. Indonesia memiliki sekitar 280 juta penduduk,” jelas Tigor.
Ia juga menyoroti rendahnya penetrasi kredit di Indonesia yang saat ini masih berada di kisaran 30–35%, jauh di bawah sejumlah negara lain yang telah melampaui 100%. Hal ini mencerminkan ruang pertumbuhan yang masih sangat luas bagi Superbank. “Akses terhadap kredit masih besar. Di situ Superbank dapat berperan mendorong inklusi keuangan melalui layanan perbankan yang mudah dan aman,” tambahnya.
Lebih lanjut, Tigor menyampaikan bahwa Rencana Bisnis Bank (RBB) Superbank telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ia menegaskan, perseroan tidak semata mengejar profitabilitas jangka pendek, melainkan pertumbuhan yang berkelanjutan. “Kami tidak hanya ingin sekali profitable, tetapi sustainable,” ucapnya.
Hingga Maret 2025, Superbank telah mencatatkan laba bersih atau net profit after tax (NPAT) yang positif. Ke depan, pertumbuhan kredit akan ditopang oleh peningkatan dana pihak ketiga (DPK).
Dari sisi permodalan, Tigor menilai posisi modal Superbank saat ini berada pada level yang sangat kuat. Dengan modal inti sekitar Rp 8 triliun, kebutuhan modal jangka pendek hingga menengah dinilai telah tercukupi. “Return dari investasi dan earnings kami akan terus bertumbuh, sehingga untuk sementara kebutuhan modal sudah terpenuhi,” ujarnya.
Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang tinggi juga memberikan ruang ekspansi yang luas. Hingga saat ini, penyaluran kredit Superbank telah mencapai sekitar Rp 9 triliun, meningkat dari Rp 6,4 triliun pada akhir tahun lalu. “Trajectory pertumbuhan ini akan terus berlanjut pada 2026,” kata Tigor.
Pembeda Superbank di Tengah Persaingan
Superbank saat ini telah memiliki sekitar 5 juta nasabah dan terus mencatatkan pertumbuhan pesat. Namun, manajemen menekankan bahwa fokus perseroan tidak hanya pada jumlah nasabah, melainkan juga tingkat transaksi dan keterlibatan. Saat ini, jumlah transaksi Superbank telah menembus lebih dari satu juta transaksi per hari dan seluruhnya dilakukan secara digital.
Tigor menegaskan, keunggulan utama Superbank terletak pada pemanfaatan data transaksi dan perilaku dari ekosistem digital. Dengan basis data tersebut, perseroan mampu menjaga kualitas aset dan mempertajam model penilaian kredit. “Dengan data yang lebih tajam, kami bisa menilai risiko kredit secara lebih akurat, termasuk untuk segmen yang selama ini sulit dijangkau bank konvensional,” ujarnya.
Saat ini, rasio kredit bermasalah (NPL) gross Superbank berada di kisaran 2,7–2,8%, dengan NPL net sekitar 1%, yang dinilai masih dalam batas sehat. Sekitar 60% bisnis Superbank berasal dari ekosistem, sementara sisanya tumbuh dari luar ekosistem. Ke depan, perseroan tetap mengandalkan ekosistem sebagai motor pertumbuhan utama karena biaya akuisisi dan engagement yang lebih efisien, tanpa menutup peluang ekspansi dari luar ekosistem.






