Sebagian besar individu di segmen kelas menengah kerap meyakini bahwa keterbatasan finansial yang mereka alami bersumber dari pendapatan yang belum memadai. Namun, realitasnya, akar permasalahan seringkali tidak terletak pada besaran penghasilan, melainkan pada pola perilaku keuangan yang secara tidak disadari membatasi potensi pertumbuhan aset.
Pola-pola ini beroperasi secara halus dan sering luput dari perhatian. Keputusan-keputusan yang sekilas tampak aman dan bertanggung jawab justru secara sistematis menghambat akumulasi kekayaan, sekaligus memperpanjang ketergantungan pada gaji dari pekerjaan utama.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Perbedaan fundamental antara pencari nafkah kelas menengah dan individu yang berhasil membangun kekayaan tidaklah semata-mata soal besaran gaji atau peluang yang tersedia. Perbedaan esensialnya terletak pada kebiasaan, prioritas, serta pemahaman mendalam mengenai bagaimana uang dapat berkembang melalui proses penggandaan dalam jangka panjang.
Dikutip dari New Trader U pada Rabu, 31 Desember 2025, berikut adalah tiga dari sepuluh kebiasaan keuangan yang seringkali menjebak individu berpenghasilan menengah dalam siklus tekanan finansial, meskipun pendapatan mereka terus meningkat:
Kebiasaan Finansial yang Menggerus Aset Kelas Menengah
1. Inflasi Gaya Hidup Setiap Kali Gaji Naik
Peningkatan penghasilan seringkali diikuti oleh lonjakan konsumsi. Tambahan pendapatan ini mendorong peningkatan standar hunian, jenis kendaraan, kebiasaan makan, hingga layanan berlangganan. Akibatnya, aliran kas tambahan tersebut habis untuk biaya tetap yang ikut naik, sehingga tidak pernah dialokasikan untuk investasi.
Pola ini menciptakan efek “treadmill”, di mana pendapatan terus meningkat tetapi kekayaan bersih justru stagnan. Dorongan utama di balik fenomena ini berasal dari sinyal sosial dan adaptasi hedonis. Setiap peningkatan gaya hidup secara otomatis menetapkan standar baru yang menuntut penghasilan lebih tinggi.
2. Ketergantungan Berlebihan pada Utang Konsumtif
Penggunaan kartu kredit, kredit kendaraan, dan pembiayaan pribadi secara efektif mengubah pendapatan di masa depan menjadi konsumsi di masa kini. Setiap cicilan yang dibayarkan mengurangi modal yang seharusnya dapat diinvestasikan, sementara barang yang dibeli umumnya mengalami penyusutan nilai atau tidak memberikan manfaat jangka panjang yang signifikan.
Utang konsumtif berfungsi sebagai “leverage negatif” karena memperbesar risiko finansial tanpa menawarkan potensi imbal hasil. Daya tariknya terletak pada kepuasan instan tanpa perlu pembayaran langsung.
3. Menganggap Rumah sebagai Investasi Utama
Hunian utama pada dasarnya berfungsi sebagai tempat tinggal, bukan sebagai sarana utama pembentukan kekayaan. Alokasi modal yang terlalu besar pada ekuitas rumah mengurangi diversifikasi portofolio investasi dan mengunci dana pada aset yang tidak likuid serta tidak menghasilkan arus kas secara aktif.
Pendekatan ini memang memberikan rasa aman secara psikologis, namun pada saat yang sama membatasi fleksibilitas keuangan dan potensi pertumbuhan aset dalam jangka panjang.






