Keuangan

Raksasa Tekstil Sritex Tumbang: Dari Kejayaan Global, Pailit, hingga Bos Ditangkap Kejaksaan Agung

PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), yang pernah menjadi simbol kejayaan industri tekstil nasional, kini menghadapi babak akhir yang pahit. Perusahaan yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah ini, telah dinyatakan pailit, menutup operasional pabriknya, dan menyebabkan ribuan karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Puncaknya, salah satu petinggi perusahaan bahkan telah ditangkap oleh Kejaksaan Agung.

Perjalanan hampir enam dekade Sritex, dari usaha kecil di Pasar Klewer hingga menembus pasar lebih dari 100 negara, kini berakhir dengan tragis.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Dari Pedagang Kain Kecil hingga Produsen Global

Kisah Sritex bermula pada tahun 1966, ketika pendirinya, H.M. Lukminto, merintis usaha sebagai pedagang kain kecil di Pasar Klewer, Solo, dengan nama UD Sri Redjeki. Hanya dua tahun berselang, pada 1968, ia mendirikan pabrik cetak kain sendiri. Ekspansi berlanjut pada tahun 1982 dengan pendirian pabrik tenun, menandai transformasi Sritex dari usaha dagang menjadi industri manufaktur tekstil terintegrasi.

Puncak kejayaan Sritex tiba pada tahun 1994. Saat itu, perusahaan dipercaya untuk memproduksi seragam militer bagi NATO dan Angkatan Bersenjata Jerman, sebuah pencapaian yang mengukuhkan nama Sritex di kancah global. Sejak momen itu, Sritex dikenal luas sebagai perusahaan tekstil terintegrasi yang mengelola seluruh rantai produksi, dari hulu hingga hilir.

Mesin produksi raksasa Sritex mengoperasikan empat lini utama: pemintalan (spinning), penenunan (weaving), penyempurnaan kain (finishing), dan garmen. Kapasitas produksinya terbilang masif, mampu memproses ribuan bale kapas per hari dan menghasilkan puluhan ribu potong pakaian jadi setiap harinya. Produk-produk Sritex tidak hanya mendominasi pasar domestik, tetapi juga diekspor ke berbagai wilayah seperti Amerika Serikat, Eropa, Asia Tenggara, dan Timur Tengah. Dengan skala operasional tersebut, Sritex pernah menyandang predikat sebagai perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.

Perusahaan Publik di Bawah Kendali Keluarga

Pada 17 Juni 2013, Sritex resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham SRIL. Struktur kepemilikan saham menunjukkan dominasi kendali keluarga Lukminto, dengan mayoritas saham dikuasai oleh PT Huddleston Indonesia, sementara sisanya dimiliki publik.

Generasi kedua keluarga Lukminto kemudian mengambil alih kemudi perusahaan. Iwan Setiawan Lukminto sempat menjabat sebagai Presiden Direktur dan beberapa kali masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia versi Forbes. Sejak tahun 2022, ia menjabat sebagai Komisaris Utama, sementara posisi Direktur Utama dipegang oleh adiknya, Iwan Kurniawan Lukminto.

Terjerat Utang dan Berujung Pailit

Namun, di balik citra kejayaan itu, masalah keuangan mulai membayangi. Mengacu pada laporan keuangan per 30 Juni 2024, total utang bank jangka pendek dan jangka panjang Sritex mencapai US$ 828,09 juta. Angka ini mencakup sekitar 51,8 persen dari total liabilitas perusahaan yang secara keseluruhan tercatat sebesar US$ 1,59 miliar.

Kondisi finansial yang memburuk ini akhirnya berujung pada kebangkrutan. Sritex dinyatakan pailit, pabrik-pabriknya berhenti beroperasi, dan ribuan karyawan harus kehilangan pekerjaan. Tragedi ini semakin diperparah dengan penangkapan salah satu petinggi perusahaan oleh Kejaksaan Agung, menandai akhir dari era kejayaan raksasa tekstil yang pernah dibanggakan Indonesia.

Mureks