Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Oktober 2025, Indonesia berhasil mencatat surplus neraca perdagangan sebesar 2,4 miliar dollar AS. Angka ini tercipta dari total ekspor senilai 24,24 miliar dollar AS yang melampaui total impor 21,84 miliar dollar AS. Secara teori, surplus ini seharusnya menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Dunia masih antusias membeli produk Indonesia, mulai dari komoditas seperti CPO dan batu bara, hingga baja dan produk kimia.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan paradoks yang menarik. Pertumbuhan ekonomi nasional terpantau masih berkutat di kisaran 5 persen. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan krusial: apakah surplus dagang yang besar benar-benar mampu mendorong laju Produk Domestik Bruto (PDB), ataukah angka tersebut hanya sekadar statistik tanpa dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat?
Kontribusi Surplus Dagang terhadap PDB
Dalam perhitungan PDB yang sederhana, yaitu Y = C + I + G + (X–M), komponen surplus perdagangan (X–M) yang positif memberikan kontribusi langsung terhadap PDB. Surplus sebesar 2,4 miliar dollar AS ini secara historis diperkirakan dapat menyumbang sekitar 0,2 hingga 0,4 poin terhadap pertumbuhan kuartalan. Jika tren ini berlanjut hingga akhir tahun, kontribusi perdagangan luar negeri berpotensi mencapai 0,5 hingga 1,0 poin terhadap pertumbuhan ekonomi tahunan.
Meskipun demikian, surplus dagang yang besar tidak serta-merta menjamin dinamika ekonomi yang kuat. Komposisi ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas mentah dan setengah jadi. Produk-produk ini memiliki nilai tambah yang rendah dan sangat rentan terhadap fluktuasi harga di pasar global. Ketergantungan pada harga komoditas sebagai penopang ekspor membatasi kontribusinya terhadap PDB.
Ketergantungan pada Impor Bahan Baku
Di sisi lain, nilai impor yang mencapai 21,84 miliar dollar AS sebagian besar terdiri dari bahan baku dan barang modal yang esensial bagi kelangsungan industri manufaktur. Hal ini mengindikasikan kesiapan industri untuk meningkatkan kapasitas produksi. Namun, ini juga menjadi pengingat akan ketergantungan ekonomi Indonesia pada input impor.
Selama ketergantungan ini tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas teknologi domestik, surplus dagang yang dicapai berisiko hanya menjadi solusi sementara, bukan fondasi pertumbuhan yang berkelanjutan. Indonesia telah berhasil mempertahankan kinerja ekspor bulanan di atas 24 miliar dollar AS.
Transformasi Ekonomi Belum Optimal
Pertanyaan mendasar kini adalah: apakah komposisi ekspor tersebut sudah mendorong transformasi ekonomi yang lebih substansial? Jawabannya, belum sepenuhnya. Program hilirisasi yang digalakkan pemerintah masih terbatas pada level yang dangkal. Contohnya, pengolahan nikel menjadi feronikel dan stainless steel belum menyentuh rantai nilai global yang kini bergerak cepat ke arah baterai kendaraan listrik, penyimpanan energi, hingga elektronik presisi.
Demikian pula dengan minyak kelapa sawit (CPO), yang sebagian besar masih dijual sebagai bahan mentah. Padahal, tren global telah bergeser ke arah bioplastik, biofuel, dan oleokimia berteknologi tinggi. Ekspor seharusnya menjadi pendorong inovasi industri, bukan sekadar cerminan permintaan global. Jika Indonesia terus menjual produk yang mudah ditiru dan minim inovasi, posisinya dalam rantai pasok dunia akan tetap berada di pinggiran.
Impor Sebagai Fondasi Produksi
Dalam diskursus publik, impor kerap digambarkan sebagai ancaman. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. Data menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen struktur impor Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir adalah bahan baku dan barang modal. Kenaikan impor bahan baku menandakan kesiapan pabrik untuk meningkatkan kapasitas produksi, sementara kenaikan impor barang modal menunjukkan upaya industri untuk meningkatkan teknologi, memperbaiki produktivitas, dan mempersiapkan lompatan kualitas produksi.
Impor baru menjadi masalah ketika barang konsumsi mendominasi pasar dan mematikan produksi lokal. Impor barang modal justru dapat dianggap sebagai bentuk investasi terselubung. Dalam ekonomi modern, penolakan terhadap impor seringkali berarti penolakan terhadap perkembangan.
Strategi Radikal untuk Pertumbuhan 2026
Untuk mencapai lompatan pertumbuhan dari 5 persen menuju 6–7 persen, Indonesia memerlukan strategi yang radikal pada tahun 2026. Pertama, stabilitas nilai tukar harus terjaga untuk memberikan kepastian pendapatan bagi eksportir dan keberanian bagi investor untuk menambah kapasitas. Kedua, Indonesia harus berani mempercepat perjanjian dagang strategis, seperti Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni Eropa dan perluasan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Ketiga, sektor logistik nasional harus memasuki era baru. Digitalisasi pelabuhan secara penuh, penurunan biaya logistik, dan integrasi kereta barang ke pelabuhan merupakan langkah krusial. Setiap penurunan biaya logistik sebesar 1 persen berpotensi meningkatkan ekspor hingga 0,7 persen. Yang terpenting, hilirisasi harus mencapai generasi kedua, fokus pada industri yang memproduksi barang berteknologi menengah hingga tinggi.
Momen ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan low value economy dan memasuki babak baru sebagai pusat produksi di Asia Tenggara. Data ekspor-impor Oktober 2025 menunjukkan potensi besar perdagangan sebagai mesin pertumbuhan. Namun, potensi tersebut hanya akan terwujud jika ada keberanian untuk mengubah arah. Surplus 2,4 miliar dollar AS akan menjadi angka tanpa makna jika ekspor tetap berorientasi komoditas dan impor masih dianggap musuh.
Tahun 2026 harus menjadi momentum Indonesia untuk berhenti memandang perdagangan sebagai statistik semata, dan mulai menjadikannya strategi transformasi ekonomi. Jika langkah berani diambil, Indonesia tidak hanya akan tumbuh, tetapi akan melompat maju.






