JAKARTA – Peningkatan kasus penyakit pasca-banjir bandang di Sumatera diperkirakan dapat berlangsung hingga 200 hari ke depan. Kondisi ini menuntut kesiapan serius dari fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit, dalam menghadapi lonjakan pasien.
Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof. Tjandra Yoga Aditama, menyoroti setidaknya empat aspek krusial yang perlu disiapkan rumah sakit. Analisis ini merujuk pada artikel ilmiah dari Jurnal Kesehatan Internasional ‘Nature’ yang berjudul ‘Hospitalization risks associated with floods in a multi-country study’.
Dampak Jangka Panjang dan Kesiapan Rumah Sakit
Prof. Tjandra, yang juga menjabat Direktur Pascasarjana Universitas YARSI dan Adjunct Professor Griffith University Australia, menjelaskan bahwa penelitian tersebut menunjukkan peningkatan kasus yang harus dilayani di rumah sakit terjadi dalam periode yang cukup panjang.
“Peningkatan kasus penyakit bisa sampai 210 hari sesudah bencana banjir terjadi,” kata Prof. Tjandra.
Menurutnya, lamanya dampak terhadap pelayanan rumah sakit pasca-banjir berkaitan erat dengan tiga hal utama yang perlu disiapkan:
- Sumber Daya: Ketersediaan sumber daya manusia, sarana, prasarana, dan dukungan finansial di rumah sakit daerah bencana harus memadai.
- Sistem Pelayanan: Sistem pelayanan kesehatan rumah sakit perlu ditata dengan baik sejak dini untuk menghadapi periode panjang ke depan.
- Beban Ganda: Rumah sakit tidak hanya akan menangani penyakit terkait banjir, tetapi juga penyakit-penyakit lain yang biasa terjadi di masyarakat sehari-hari, sehingga akan ada beban ganda.
Artikel ilmiah tersebut juga mengidentifikasi 10 jenis penyakit yang umum dihadapi pasca-banjir, meliputi penyakit kardiovaskular, penyakit paru dan pernapasan, penyakit infeksi, penyakit saluran cerna, gangguan mental, diabetes, cedera, kanker, gangguan sistem syaraf, dan penyakit ginjal.
Selain itu, terdapat enam faktor yang berhubungan dengan pelayanan rumah sakit pasca-banjir besar:
- Keadaan cuaca yang terjadi.
- Derajat beratnya banjir yang ada.
- Pola umur para korban banjir.
- Kepadatan penduduk di daerah bencana.
- Status sosio-ekonomi masyarakat setempat.
- Resiliensi (ketahanan) pelayanan kesehatan.
Keenam faktor ini, lanjut Prof. Tjandra, perlu menjadi bahan kajian sejak sekarang untuk menjamin ketahanan pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam hari-hari dan bulan-bulan mendatang.
Manajemen SDM dan Logistik Kunci Penanganan Bencana
Terkait ketersediaan tenaga kesehatan di daerah bencana, Prof. Tjandra membagikan pengalamannya saat terlibat langsung dalam penanganan tsunami Aceh.
“Pengalaman saya pribadi waktu terlibat langsung di lapangan ketika tsunami Aceh, pada dasarnya adalah manajemen SDM dan juga manajemen logistik kesehatan yang perlu diatur secara rapi. Tim manajemen krisis kesehatan di lapangan yang menangani pengaturannya di lokasi mengatur berbagai sumber daya yang pasti sudah ada di lapangan dari berbagai sumber,” kata Prof. Tjandra, Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit serta Kepala Balitbangkes.
Prof. Tjandra, yang juga pernah menjabat Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, menambahkan bahwa saat tsunami Aceh, pengaturan sumber daya bahkan melibatkan bantuan dari dalam dan luar negeri.
“Saya ingat antara lain ada beberapa tim kesehatan negara sahabat yang bersama-sama bekerja di RS Zainoel Abidin Banda Aceh sesudah TNI berhasil membersihkan lumpur lebih dari 1 meter di seluruh kawasan rumah sakit,” ujar Prof. Tjandra, penerima Penghargaan Paramakarya Paramahusada 2024 – PERSI dan Penghargaan Achmad Bakrie XXI 2025.






