Hubungan antara game online dan kecenderungan kekerasan pada anak kembali menjadi sorotan publik. Berbagai kasus kekerasan dan tindakan brutal yang melibatkan pelajar, mulai dari aksi perundungan, percobaan bunuh diri, ancaman bom di sekolah, hingga pembunuhan ibu oleh seorang anak, diduga kuat berkaitan dengan paparan game online.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan urgensi pengendalian konten digital bagi anak-anak. Komisioner KPAI, Kawiyan, dalam sebuah kesempatan menyatakan, “Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang membatasi anak menggunakan game online, khususnya yang bermuatan kekerasan dan seksualitas.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa persoalan ini bukan lagi sekadar wacana, melainkan masalah nyata yang menuntut respons serius dari negara dan masyarakat.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Game, Paparan Kekerasan, dan Data Empiris
Meskipun game tidak dapat disederhanakan sebagai penyebab tunggal kejahatan, sejumlah penelitian menunjukkan korelasi kuat antara paparan konten kekerasan berulang dalam permainan digital dengan peningkatan agresivitas dan penurunan empati pada anak serta remaja. Diskusi mengenai game online pun tidak dapat dilepaskan dari struktur kekuasaan dan kepentingan ekonomi global yang membentuk lanskap digital kita sehari-hari.
Berbagai studi memperlihatkan bahwa paparan violent video games berkaitan dengan peningkatan kognisi agresif dan penurunan perilaku prososial. Penelitian longitudinal dan eksperimen berbasis General Aggression Model menunjukkan bahwa repetisi simulasi kekerasan memperkuat skema berpikir agresif pada sebagian anak dan remaja, terutama ketika tidak ada pengawasan yang memadai.
Meta-analisis lain memperkuat temuan bahwa game dengan kekerasan intens dapat meningkatkan respons agresif pada situasi nyata, baik verbal maupun fisik. Pengaruh ini, tentu saja, dipengaruhi oleh variabel konteks seperti lingkungan keluarga dan kontrol diri. Bahkan, studi di sejumlah sekolah Indonesia menunjukkan bahwa intensitas bermain game kekerasan menjelaskan lebih dari 25% varian perilaku agresif pada siswa menengah pertama.
Temuan-temuan ini menegaskan bahwa game online bukan sekadar hiburan, melainkan ruang representasi nilai yang memengaruhi cara anak memahami konflik, kemenangan, dan kekuasaan.
Hegemoni Kapitalisme Digital: Game sebagai Mesin Profit dan Kontrol Budaya
Untuk memahami mengapa konten kekerasan tetap diproduksi secara masif, kita perlu meninjau analisis hegemoni kapitalisme digital. Industri game adalah bagian dari ekonomi global bernilai ratusan miliar dolar. Model bisnisnya sangat bergantung pada engagement dan addiction loop, di mana semakin lama pengguna bermain, semakin besar peluang monetisasi.
Dalam logika kapitalisme digital, nilai moral tidak menjadi variabel utama; yang utama adalah trafik, atensi, dan transaksi. Konten kekerasan dan dominasi virtual terbukti mempertahankan keterikatan emosi pemain, sehingga menjadi komoditas yang terus direproduksi. Game dengan kekerasan, kompetisi brutal, dan reward instan bukan hanya “diproduksi karena diminati,” tetapi diminati karena diproduksi dengan desain psikologis yang menstimulasi adrenalin, respons cepat, dan pelarian emosional.
Dengan demikian, anak dan remaja bukan hanya konsumen, tetapi juga objek pasar yang diperebutkan melalui strategi microtransaction, battle pass, hingga loot boxes, mekanisme yang secara psikologis menyerupai sistem perjudian ringan. Hegemoni kapitalisme digital bekerja bukan hanya melalui penjualan konten, tetapi melalui normalisasi nilai: kekerasan dipandang wajar, kemenangan dipahami sebagai dominasi, dan ekspresi emosi agresif dianggap bagian dari hiburan.
Negara dan Tantangan Perlindungan Generasi
Dalam kondisi ini, negara menghadapi dilema: antara mendorong ekonomi digital atau melindungi kualitas generasi. Regulasi rating game memang sedang dirancang, namun sistem pengawasan dan literasi digital belum mampu mengimbangi kecepatan ekspansi industri game yang lintas batas dan sangat adaptif.
Absennya kerangka moral publik menyebabkan generasi muda berinteraksi dengan konten ekstrem tanpa perlindungan budaya atau spiritual yang kuat. Di sinilah urgensi pendekatan nilai dalam paradigma perlindungan generasi yang tidak berhenti pada regulasi teknis.
Perspektif Islam: Tiga Pilar Solusi Menjaga Generasi
Menghadapi tantangan distraksi digital, Islam menawarkan kerangka nilai yang komprehensif melalui tiga pilar utama:
- Ketakwaan Individu — Fondasi Kontrol Diri
Pendidikan nilai dan spiritualitas sejak dini menumbuhkan self-regulation dan kemampuan membedakan yang merusak dari yang bermanfaat. Ketakwaan membangun kesadaran bahwa hiburan tidak boleh menjadi jalan kerusakan diri dan empati. Tanpa fondasi ini, teknologi mudah menguasai perilaku karena tidak adanya panduan moral internal.
- Kontrol Masyarakat — Kultur Positif sebagai Filter Sosial
Masyarakat berperan menciptakan budaya digital yang sehat melalui komunitas, ruang belajar, dan aktivitas alternatif bermakna. Amar ma’ruf nahi munkar dapat menjadi benteng kolektif yang menormalisasi kekerasan serta mendorong aktivitas kreatif yang lebih tinggi nilainya daripada sekadar “bermain untuk melampiaskan agresi.”
- Perlindungan Negara — Regulasi dan Kedaulatan Digital
Negara dipandang Islam berkewajiban melindungi generasi dari konten yang merusak akal, moral, dan masa depannya. Ini mencakup klasifikasi dan pembatasan konten berbahaya, mekanisme penegakan terhadap pelanggaran platform, serta pengembangan kedaulatan digital agar bangsa tidak menjadi pasar pasif industri global.
Dalam pandangan Islam, perlindungan generasi bukan hanya kebijakan teknis, tetapi amanah moral yang menempatkan kehidupan manusia di atas kepentingan ekonomi jangka pendek.
Game online bukanlah musuh, tetapi industri game yang dikendalikan logika keuntungan tanpa batas dapat menjadi ancaman bila tidak diarahkan oleh nilai, kontrol sosial, dan kebijakan negara yang tegas. Jika tiga pilar—ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan perlindungan negara—dijalankan secara terpadu, ruang digital dapat menjadi sarana perkembangan, bukan sumber kerusakan. Namun bila dibiarkan dalam hegemoni kapitalisme yang menjadikan perhatian sebagai komoditas dan agresi sebagai daya tarik, kita akan kehilangan orientasi moral sekaligus masa depan generasi. Wallahu a’lam bishawab.






