Nasional

Candi Sewu: Menguak Detail Arsitektur Megah Peninggalan Mataram Kuno Abad ke-8 Masehi

Candi Sewu, salah satu peninggalan Buddha terbesar di Jawa Tengah, berdiri megah sebagai saksi bisu kehebatan arsitektur masa Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-8 Masehi. Berlokasi tidak jauh dari kompleks Candi Prambanan, candi ini merefleksikan tingginya kemampuan masyarakat Jawa kuno, khususnya dari Dinasti Syailendra, dalam merancang bangunan monumental.

Menurut Jacques Dumarçay dan Pascal Lordereau dalam buku Candi Sewu and Buddhist Architecture of Central Java, arsitektur Candi Sewu merupakan hasil perpaduan konsep Buddha dari India dengan penyesuaian lokal menggunakan batu andesit, yang mencerminkan kecerdasan perancangnya. Artikel ini akan mengulas lebih lanjut ciri-ciri arsitektur Candi Sewu yang menawan.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

Tata Letak Mandala dan Simetri Kompleks

Ciri utama arsitektur Candi Sewu terletak pada tata letaknya yang mengadopsi konsep mandala dalam ajaran Buddha. Mandala sendiri melambangkan alam semesta yang teratur dan harmonis. Di pusat kompleks, terdapat satu candi induk yang dikelilingi oleh ratusan candi perwara.

Balai Konservasi Borobudur mencatat, terdapat 249 candi perwara yang tersusun simetris mengelilingi candi utama. Candi-candi ini dikelompokkan berdasarkan empat arah mata angin, yakni timur, barat, utara, dan selatan. Jurnal BRIN berjudul Dua Tipe Ornamentasi Candi Perwara menjelaskan bahwa pola silang lima atau pancawara diterapkan pada setiap kuadran, sehingga menciptakan keseimbangan dan harmoni kosmik sesuai kepercayaan Buddha Mahayana.

Material Andesit dan Relief Dekoratif

Pembangunan Candi Sewu menggunakan batu andesit vulkanik, material yang dikenal kuat dan tahan terhadap gempa. Karakteristik batu ini yang mudah dipahat juga memungkinkan para seniman kuno menciptakan relief-relief yang sangat detail dan artistik.

Pada bagian kaki candi, dapat ditemukan relief yang menggambarkan Bodhisattva, dewa pelindung, serta motif bunga teratai yang melambangkan kesucian dan pencerahan. Jacques Dumarçay dan Pascal Lordereau juga menyebutkan bahwa banyak relung pada tubuh candi yang dulunya berisi arca, namun kini sebagian besar arca tersebut telah hilang dan hanya menyisakan altar kosong. Sementara itu, atap candi dirancang dalam bentuk stupa bertingkat dengan susunan berundak hingga sembilan tingkat, melambangkan tahapan menuju nirwana.

Dwarapala dan Gerbang Akses Candi Sewu

Merujuk buku Eksistensi Candi: Sebagai Karya Agung Arsitektur Indonesia di Asia Tenggara karya Dr. Rahadhian P.H., dkk., setiap pintu masuk utama Candi Sewu dijaga oleh patung Dwarapala berukuran besar dengan tinggi sekitar 2,5 meter. Patung ini digambarkan dengan wajah garang, berfungsi sebagai simbol penjaga tempat suci dari kekuatan jahat.

Tangga akses candi dibuat melengkung dan menghadap ke arah timur, yang melambangkan matahari terbit sebagai simbol pencerahan. Gerbang candi memiliki tiga bukaan dan dihiasi relief Kala dan Makara, yang merupakan unsur Hindu yang diadaptasi dalam konteks Buddha, menunjukkan akulturasi budaya pada masa itu.

Perbandingan Candi Sewu dengan Borobudur

Candi Sewu diketahui dibangun lebih dahulu dibandingkan Candi Borobudur dan berada dalam satu kawasan besar yang sama dengan kompleks Candi Prambanan. Menurut jurnal Kalpataru berjudul Peran Lembaga Adat Desa, perbedaan bentuk antara stupa di Candi Borobudur dan candi-candi kecil (candi perwara) di Candi Sewu menunjukkan adanya perkembangan gaya dan teknik arsitektur Buddha di Jawa pada masa itu.

Selain itu, Prasasti Manjusrigrha yang berasal dari tahun 792 M menyebutkan bahwa Candi Sewu dahulu dikenal dengan nama Manjusrigrha, yaitu tempat ibadah untuk Bodhisattva Manjusri, sosok yang dalam ajaran Buddha melambangkan kebijaksanaan.

Mureks