Dua mantan pejabat PT Pertamina didakwa jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan tindak pidana korupsi pengadaan liquefied natural gas (LNG) atau gas alam cair. Keduanya, Hari Karyuliarto selaku mantan Direktur Gas PT Pertamina dan Yenni Andayani yang merupakan mantan VP Strategic Planning Business Development Direktorat Gas Pertamina, disebut merugikan negara hingga USD 113 juta.
Sidang dakwaan terhadap Hari dan Yenni digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Selasa, 23 Desember 2025. Jaksa menyebut perbuatan kedua terdakwa dilakukan bersama mantan Direktur Utama Pertamina, Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan, yang sebelumnya telah divonis bersalah dalam kasus serupa.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
“Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan sebesar Rp 1.091.280.281 (Rp 1 miliar) dan USD 104.016 serta memperkaya korporasi Corpus Christi Liquefaction LLC sebesar USD 113.839.186 (USD 113 juta),” ujar jaksa dalam persidangan.
Jaksa menjelaskan, angka kerugian negara tersebut didasari oleh laporan hasil pemeriksaan investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Pengadaan gas dari Amerika Serikat (AS) ini dilakukan dengan dalih stok gas dalam negeri yang terbatas.
Modus Operandi dan Kerugian Negara
Dalam dakwaannya, jaksa membeberkan bahwa izin prinsip terkait pengadaan LNG dikeluarkan oleh Karen Agustiawan tanpa adanya pedoman pelaksanaan pengadaan LNG yang jelas. Meskipun demikian, pengadaan LNG tetap dilakukan berdasarkan best practice yang selalu diterapkan Pertamina sebagai penjual LNG bagian negara.
Setelah melalui serangkaian proses negosiasi dan pembahasan internal, Pertamina akhirnya melakukan pembelian gas dari Corpus Christi Liquefaction LLC. Padahal, menurut jaksa, Pertamina belum memiliki pembeli tetap LNG di pasar domestik yang akan menyerap atau membeli LNG dari perusahaan AS tersebut.
Pembelian LNG juga tidak disertai dengan analisis atau perhitungan keekonomian secara final. Kondisi ini kemudian menyebabkan terjadinya kelebihan atau over supply LNG.
“Padahal seharusnya sesuai dengan kajian risiko interim terkait volume LNG impor yang akan dibeli oleh Direktorat Gas PT Pertamina, harus terdapat gas sales agreement (GSA) sebelum LNG SPA (Sales and Purchase Agreement) ditandatangani sehingga LNG tersebut dapat diserap 95% menurut pendekatan statistik probabilitas atau sebesar 90% menurut pendekatan konservatif atau 80% volume LNG SPA menurut pendekatan agresif sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi PT Pertamina,” ucap jaksa.
Akibat surplus tersebut, Pertamina terpaksa menjual LNG impor yang berlebih kepada pembeli di luar negeri dalam rentang waktu 2019-2023. Jaksa merinci, total biaya pembelian 18 kargo LNG Corpus Christi Liquefaction yang dikeluarkan Pertamina mencapai USD 341.410.404. Namun, Pertamina menjualnya secara rugi dengan nilai penjualan hanya USD 248.784.764.
Dari praktik jual beli ini, Pertamina mengalami kerugian sebesar USD 92.625.640. Selain itu, adanya uncommitment cargo juga menyebabkan Pertamina harus membayar suspension fee sebesar USD 10.045.980.
Secara keseluruhan, perbuatan para terdakwa telah menyebabkan kerugian keuangan negara pada PT Pertamina (Persero) sebesar USD 113.839.186. Jumlah ini setara dengan sekitar Rp 1,9 triliun jika didasarkan pada kurs saat ini.
“Merugikan keuangan negara pada PT Pertamina (Persero) sebesar USD 113.839.186,” tegas jaksa.
Keterlibatan Karen Agustiawan
Sebelumnya, Karen Agustiawan telah lebih dulu diadili dalam kasus ini. Ia divonis 13 tahun penjara pada tingkat kasasi. Menariknya, majelis hakim tidak membebankan uang pengganti kerugian negara sebesar USD 113 juta kepada Karen. Pembayaran uang pengganti tersebut dibebankan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Corpus Christi Liquefaction LLC. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan Corpus Christi Liquefaction LLC seharusnya tidak berhak mendapat keuntungan dari pengadaan LNG tersebut.






