Fraksi Partai Gerindra DPR RI menyatakan dukungan penuh terhadap penyelesaian revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Namun, mereka mencurigai adanya pihak-pihak tertentu yang terus berupaya menjegal proses revisi beleid tersebut.
“Kami mencurigai adanya pihak-pihak tertentu atau mafia migas yang berupaya menjegal revisi UU Migas,” kata Sekretaris Fraksi Gerindra DPR Bambang Haryadi kepada wartawan, Rabu (24/12/2025).
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Bambang menyoroti sejumlah pasal dalam UU Migas, khususnya yang berkaitan dengan eksistensi Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, putusan MK tersebut secara tegas mengamanatkan posisi negara dalam pengelolaan hulu migas. Oleh karena itu, sudah saatnya RUU Migas kembali dibahas dan disahkan.
Perjalanan Panjang RUU Migas yang Terhenti
Revisi UU Migas memiliki sejarah panjang yang belum tuntas. Pada periode 2014-2019, RUU Migas sempat selesai dibahas di DPR dan diserahkan kepada pemerintah. Namun, meskipun Surat Presiden (Surpres) terkait RUU Migas telah terbit pada Januari 2019 dan ditujukan ke kementerian terkait, pemerintah disebut tidak menyertakan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai lampiran surpres tersebut, sehingga pembahasan terhenti.
Upaya revisi kembali dilakukan pada periode DPR 2019-2024. Rancangan beleid ini telah melalui proses sinkronisasi dan harmonisasi di tingkat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, kemudian diserahkan ke Komisi VII DPR. Sayangnya, RUU Migas tetap berstatus rancangan karena Komisi VII DPR tidak melanjutkan pembahasan ke tingkat Badan Musyawarah (Bamus) untuk diparipurnakan.
“Kami ingin revisi UU Migas ini segera dirampungkan, untuk memasukkan putusan MK yang mengamanatkan penguasaan dan pengusahaan hulu Migas dari sumber daya alam kita dikuasai dan dikendalikan negara,” tegas Bambang.
Kekosongan Hukum dan Peran SKK Migas
Bambang juga menyoroti status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang saat ini beroperasi berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2013. Ia menekankan bahwa Perpres tersebut bersifat sementara, hanya untuk mengisi kekosongan hukum pasca-putusan MK.
“Perpres No. 9 tahun 2013 tentang SKK Migas itu sifatnya sementara guna mengisi kekosongan hukum pasca putusan MK. Karena keberadaan BP Migas ditafsir MK bertentangan dengan amanat UUD 1945, sehingga dibubarkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Bambang menduga adanya pihak-pihak yang merasa nyaman dengan kondisi kekosongan hukum tersebut. “Ini sudah 13 tahun lebih sejak putusan MK membatalkan BP Migas karena dinilai bertentangan dengan konstitusi. Dan DPR sudah berupaya melakukan revisi UU Migas sejak 2014, namun hingga 2 periode masa jabatan berakhir tidak kunjung selesai. Mungkin ada yang nyaman dengan kekosongan hukum setelah putusan tersebut,” pungkas Bambang.






