Keuangan

Ekonom Peringatkan: Kenaikan UMP 2026 Berisiko Ciptakan Ilusi Kesejahteraan Pekerja

Advertisement

Pemerintah telah menetapkan formulasi baru Upah Minimum Provinsi (UMP) melalui Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan. Ketentuan ini, yang disetujui dan ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto pada Senin, 16 Desember 2025, mengusung kenaikan komponen Alfa atau indeks tertentu dalam formulasi upah tahun 2026, dari rentang 0,1-0,3 menjadi 0,5-0,9.

Meskipun kenaikan Alfa terlihat berlipat, formula UMP 2026 yang menggabungkan inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi yang dikalikan Alfa, serta telah memasukkan komponen kebutuhan hidup layak (KHL), dinilai belum cukup untuk menjamin kesejahteraan pekerja. Para ekonom memperingatkan bahwa penetapan UMP ini berisiko hanya menciptakan ilusi kesejahteraan.

UMP 2026: Ilusi Kesejahteraan?

Ekonom Centre of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai bahwa penetapan UMP 2026 bukan sekadar rutinitas tahunan. Menurutnya, ini adalah “ujian nyata bagi daya tahan ekonomi rumah tangga pekerja.” Ia khawatir kenaikan UMP berisiko besar hanya menciptakan ilusi kesejahteraan jika biaya hidup riil lebih tinggi dari inflasi umum yang dijadikan acuan.

“Secara nominal upah naik, tetapi secara riil daya beli tergerus oleh lonjakan harga pangan, mahalnya perumahan, dan potensi kenaikan biaya transportasi. Dengan kenaikan moderat, pekerja sejatinya hanya berusaha agar tidak semakin miskin, bukan benar-benar meningkat kesejahteraannya,” ujar Yusuf kepada Investor Daily saat dihubungi pada Rabu (17/12/2025).

Yusuf menambahkan, kenaikan upah yang dipaksakan terlalu tinggi dapat menekan dunia usaha tanpa diiringi peningkatan produktivitas. Sebaliknya, jika kenaikan upah relatif rendah, pelemahan daya beli pekerja menjadi tak terhindarkan. Ia memandang perlunya pendekatan dua jalur: penegakan struktur dan skala upah serta insentif produktivitas bagi industri besar, serta dukungan non-upah bagi UMKM.

“Tanpa keseimbangan ini, risiko terbesar adalah melebarnya kesenjangan formal dan informal. UMP yang terlalu kaku dapat mendorong perusahaan menghindari pekerja tetap dan memperbesar sektor informal yang rentan. Pada akhirnya, UMP juga tidak cukup untuk menghindarkan pekerja dari jebakan working poor, karena selisih antara UMP dan upah layak masih sangat lebar,” jelas Yusuf.

Kesenjangan UMP dan Kebutuhan Hidup Layak

Senada dengan Yusuf, Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyatakan bahwa formulasi UMP 2026 memang memberi ruang kenaikan upah lebih besar dari rezim sebelumnya. Namun, rumus ini “belum sepenuhnya mencerminkan kebutuhan hidup layak pekerja.”

Syafruddin menjelaskan, KHL seharusnya menggambarkan keranjang nyata biaya hidup, meliputi pangan bergizi, sewa rumah atau cicilan, transportasi harian, listrik, pendidikan anak, dan akses kesehatan. Banyak survei lapangan dan pengakuan buruh menunjukkan bahwa level UMP yang berlaku masih berada di bawah biaya hidup riil di kota-kota besar.

“Rumus inflasi–pertumbuhan cenderung berangkat dari angka makro, bukan dari harga sewa kos, tarif angkutan, dan harga sembako di pasar. Selama titik awal UMP berada jauh di bawah KHL, penyesuaian berbasis rumus makro hanya memperbaiki margin tepi, bukan menutup kesenjangan yang sesungguhnya,” kata Syafruddin.

Advertisement

Menurut Syafruddin, kenaikan UMP 2026 berpotensi meredam penurunan daya beli pekerja, tetapi belum tentu mampu menahan tekanan harga pangan, perumahan, dan transportasi. Harga pangan sering bergerak di luar rata-rata inflasi resmi, terutama pada momen gejolak pasokan dan gangguan iklim. Biaya sewa rumah dan cicilan juga kerap naik lebih cepat dari upah, khususnya di wilayah urban.

“Kenaikan UMP yang berkisar beberapa persen akan terasa di awal, lalu pelan-pelan termakan kenaikan harga jika pengendalian inflasi pangan dan kebijakan hunian terjangkau tidak berjalan efektif. Upah minimum hanya bisa menjaga daya beli bila pemerintah secara serius mengendalikan harga kebutuhan dasar dan memperkuat jaring pengaman sosial,” tegas Syafruddin.

Sinergi UMP, Produktivitas, dan UMKM

Syafruddin mengemukakan, idealnya kenaikan UMP bisa padu dengan agenda peningkatan produktivitas dan dukungan konkret bagi UMKM, bukan dibiarkan berdiri sendiri sebagai kewajiban regulatif. Ia mencontohkan, pemerintah dapat mendorong program vokasi, pelatihan teknis, dan sertifikasi keterampilan yang terhubung langsung dengan kebutuhan industri.

Untuk UMKM, negara perlu menyediakan insentif pajak terarah, akses pembiayaan bunga rendah, pendampingan manajemen, serta digitalisasi rantai pasok. Skema insentif investasi yang mensyaratkan peningkatan upah dan produktivitas juga bisa digulirkan. Dengan kombinasi ini, upah minimum dapat bertransformasi dari beban menjadi bagian dari strategi pembangunan ekonomi.

Ancaman Kesenjangan dan Sektor Informal

Persoalan lain dari kebijakan UMP 2026 adalah potensi melebarnya kesenjangan upah antara pekerja formal dan informal. Kenaikan upah yang cukup tinggi akan dirasakan oleh pekerja formal di sektor menengah dan besar, namun tidak menyentuh puluhan juta pekerja informal di sektor jasa, perdagangan kecil, dan kerja harian.

Bahkan, pekerja formal pun tidak sepenuhnya diuntungkan. Syafruddin melihat adanya celah bagi pengusaha yang tidak mampu memenuhi UMP di sektor formal untuk mempekerjakan tenaga kerja lewat skema kontrak abu-abu, outsourcing agresif, atau memindahkan pekerjaan ke zona informal.

“Dalam situasi seperti ini, UMP justru menciptakan “pulau perlindungan kecil” di tengah lautan pekerja dengan upah rendah tanpa jaminan,” ujar Syafruddin, menggarisbawahi tantangan besar dalam implementasi kebijakan pengupahan ini.

Advertisement