Keuangan

Digitalisasi Pupuk Bersubsidi: Kisah Petani Bekasi dan Komitmen Pupuk Indonesia Jaga Ketahanan Pangan Nasional

Rabu, 31 Desember 2025 – Terik matahari menyengat lahan pertanian di Desa Muktijaya, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi. Di antara barisan tanaman cabai, kacang tanah, dan lengkuas, Nenih (hampir 60 tahun) tampak sibuk membenahi hama yang mengganggu tanamannya. Dengan topi lusuh menutupi kepala, tangannya cekatan menyibak daun-daun yang mulai menguning.

Sudah dua tahun terakhir ini, Nenih bersama suaminya kembali aktif bertani di lahan garapan seluas sekitar seribu meter persegi. Mereka biasa menanam dan memanen dua kali dalam setahun, dengan komoditas andalan cabai, kacang tanah, dan lengkuas yang dianggap paling memungkinkan untuk bertahan di tengah perubahan cuaca dan fluktuasi harga pasar.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

“Kalau nggak pakai pupuk, ya begini. Kurus, nggak gede,” kata Nenih, membuka cerita saat ditemui detikcom belum lama ini, menyoroti krusialnya pupuk bagi hasil panennya.

Kelangkaan Pupuk dan Dampaknya pada Petani

Nenih menceritakan pengalamannya selama bertani, di mana rutinitas berkebun sering terganggu oleh masalah klasik: kelangkaan pupuk. Beberapa tahun lalu, pupuk sempat sulit didapat dan harganya melonjak drastis.

“Dulu sampai Rp 300 ribu sekwintal. Sekarang sekitar Rp 200 ribu. Kalau pakai KTP bisa lebih murah,” ujarnya, merujuk pada pengalaman harga pupuk di pasar lokal.

Untuk sekadar bertahan, Nenih menjelaskan bahwa pupuk kandang memang masih bisa digunakan saat pupuk kimia sulit didapat. Namun, hasil panen yang diperoleh tidak optimal karena pertumbuhan tanaman lebih lambat dan ukuran hasil panen cenderung lebih kecil dibandingkan saat menggunakan pupuk kimia jenis NPK.

“Kalau cuma pakai pupuk kandang, tanamannya tetap hidup, tapi hasilnya nggak sebagus pupuk kimia. Nggak ngefek, buahnya kecil-kecil. Beda kalau pakai NPK, tanamannya lebih cepat besar dan hasilnya kelihatan,” jelas Nenih.

Ketidakpastian akses pupuk ini tidak hanya berdampak pada petani individual, tetapi juga ke produksi dan pasokan komoditas di pasar. Ketika banyak petani menunda tanam akibat pupuk tak tersedia, produksi pun turun, stok menipis, dan harga pangan bisa ikut terpukul. Kondisi ini mencerminkan persoalan yang lebih besar, yakni ketika sarana produksi fundamental seperti pupuk tidak tersedia, ketahanan pangan nasional pun bisa terancam.

Digitalisasi dan Tata Kelola Pupuk Bersubsidi

Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah melakukan perubahan kebijakan tata kelola pupuk bersubsidi. Penggunaan identitas seperti KTP diintegrasikan dalam penebusan pupuk bersubsidi untuk memastikan subsidi diberikan kepada petani yang benar-benar membutuhkan.

Upaya ini didukung implementasi sistem digital seperti iPubers, sebuah platform yang memantau distribusi pupuk bersubsidi secara real time. Penerapan ini mampu mempermudah verifikasi dan mengefisiensikan alur distribusi dari pabrik sampai ke tangan petani. Sistem ini juga merupakan bagian dari penerapan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi yang dirancang untuk memperbaiki akuntabilitas layanan pupuk.

Menurut Direktur Manajemen Risiko PT Pupuk Indonesia, Ninis Kesuma Adriani, digitalisasi memungkinkan perubahan cepat dan akurat dalam tata kelola pupuk, sehingga petani semakin mudah mendapatkan akses.

“Pemerintah dan Pupuk Indonesia juga dapat memantau data penyaluran kapan saja tanpa harus menunggu laporan manual. Semua informasi tercatat jelas, sehingga praktik penyelewengan atau peredaran pupuk bersubsidi di luar sasaran juga dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan iPubers, distribusi pupuk subsidi menjadi lebih transparan, akuntabel, dan mudah diawasi oleh seluruh pihak terkait,” jelas Ninis dalam keterangan resmi, beberapa waktu lalu.

Komitmen Pupuk Indonesia untuk Ketahanan Pangan

Langkah tersebut bukan sekadar retorika. Tahun ini, PT Pupuk Indonesia menyiapkan lebih dari 1,2 juta ton pupuk bersubsidi untuk musim tanam Oktober-Maret 2025/2026. Jumlah tersebut mencapai 259% dari minimum stok yang ditetapkan pemerintah untuk mendukung kebutuhan petani nasional.

Direktur Utama Pupuk Indonesia, Rahmad Pribadi, pernah menegaskan bahwa ketersediaan pupuk adalah instrumen penting dalam mendorong produktivitas pertanian demi mewujudkan swasembada pangan nasional.

“Pupuk merupakan salah satu instrumen penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian, untuk mewujudkan swasembada pangan nasional. Pupuk Indonesia hadir untuk memenuhi kebutuhan petani dengan menyiapkan stok sesuai regulasi, dan menjalankan tata kelola penyaluran pupuk bersubsidi sesuai aturan baru yang banyak memberikan kemudahan bagi petani dalam penebusan,” ungkapnya belum lama ini.

Sepanjang kuartal I 2025, perusahaan mencatat penyaluran pupuk bersubsidi sebanyak 1,7 juta ton, meningkat lebih dari 30% dibanding periode sama tahun sebelumnya. Digitalisasi seperti iPubers disebut memudahkan petani menebus pupuk hanya dengan KTP dan memungkinkan pelacakan penyaluran sampai ke kios.

Harapan Petani Kecil

Bagi Nenih, akses pupuk yang teratur membuat ia bisa merencanakan masa tanam dengan lebih pasti. Walaupun kompleksitas dari cuaca, hama, dan kondisi tanah tetap menjadi tantangan, kepastian tersedianya pupuk juga memberi harapan tersendiri.

“Sekarang mah gampang. Udah nggak langka,” katanya sambil menatap barisan tanamannya.

Ia berharap harga pupuk bisa terus stabil bahkan lebih murah lagi, sehingga beban biaya produksi tidak memberatkan petani kecil seperti dirinya. “Harapannya buat tepat sasaran, buat sekarang sih pupuk subsidi alhamdulillah udah diturnin juga harganya udah semakin banyak di pasar udah tepat sasarannya petani-petani pokoknya alhamdulillah. Harapannya kedepannya bisa bertahan kalau bisa lebih turun lagi harganya lebih bisa banyak lagi petaninya yang bisa diuntungin lagi dari pupuknya,” pungkas Nenih.

Mureks