Anak-anak selayaknya tumbuh dalam limpahan kasih sayang orang tua, jauh dari beban pahitnya kehidupan. Namun, realitas berbeda harus dihadapi oleh para penghuni Panti Asuhan Bakti Luhur di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sejak dini, mereka telah akrab dengan keterbatasan dan perjuangan untuk bertahan hidup.
Kekurangan kasih sayang dan hidup serba terbatas telah membentuk mereka menjadi pribadi yang prihatin dan terbiasa berbagi. Makanan, minuman, bahkan sabun harus digunakan sehemat mungkin agar setiap anak dapat merasakan dan tidak ada yang terbuang sia-sia.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
“Sebetulnya banyak sekali yang kami butuhkan. Sembako, sabun, minyak goreng, dan kebutuhan harian ini benar-benar kami perlukan. Apalagi jika ada yang sakit dan butuh obat,” ungkap Suster Yasinta dari Yayasan Bakti Luhur, yang bertanggung jawab atas panti tersebut.
Tantangan Merawat Anak dengan Kebutuhan Khusus
Tantangan yang dihadapi panti asuhan ini semakin kompleks mengingat tidak semua anak memiliki kemampuan fisik dan mental yang sama. Suster Yasinta menjelaskan, dari total 17 penghuni panti, tiga di antaranya mengidap down syndrome, satu anak bisu tuli, dua anak dengan cacat fisik, dan tiga anak lainnya mengalami retardasi mental.
Selebihnya adalah anak-anak terlantar yang ditinggalkan orang tuanya sejak lahir. Suster Yasinta, yang merupakan warga asli NTT, menceritakan bahwa anak-anak ini awalnya dititipkan kepada kakek nenek mereka saat orang tuanya pergi mencari nafkah. Namun, mereka tidak pernah dijenguk atau mendapat perhatian dari orang tuanya seumur hidup.
“Orang tuanya itu tidak tahu di mana rimbanya, tak pernah datang berkunjung. Kasihan sekali anak-anak ini ditinggal bersama kakek neneknya yang sudah tua, sehingga terlantar. Akhirnya, mereka taruh di panti. Bersyukurlah ada panti ini,” tutur Suster Yasinta, menggambarkan kondisi pilu para anak asuhnya.
Suster Yasinta, yang telah mengabdi selama 13 tahun, menjelaskan bahwa semua anak dan penanggung jawab tinggal bersama dalam satu atap panti asuhan. Mereka menjalani aktivitas harian secara kolektif, mulai dari makan, berdoa, mengisi waktu luang, hingga beristirahat.
Anak-anak penghuni panti yang lebih besar dan memiliki kemampuan fisik turut bergotong-royong membantu suster pengasuh dalam menyiapkan makanan setiap hari. Mereka memasak satu kali untuk memenuhi kebutuhan makan tiga kali seluruh penghuni panti.
Semangat Positif di Tengah Keterbatasan
Meski hidup serba terbatas, Suster Yasinta tak pernah berhenti berupaya menyediakan sarana terbaik bagi semua anak asuhnya. Setiap pagi, mereka bersekolah sesuai dengan kemampuan masing-masing, menjalani sesi fisioterapi, dan berlatih untuk mengembangkan keterampilan hidup.
Anak-anak Panti Asuhan Bakti Luhur di Waingapu, NTT, dengan semangatnya yang tak padam di tengah keterbatasan, tentu tidak dapat dibiarkan berjuang sendiri. Mereka sangat membutuhkan kepedulian dan uluran tangan dari masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar serta mendukung perkembangan mereka.
Bagi para Sahabat Baik yang ingin membantu, donasi dapat disalurkan melalui platform berbuatbaik.id. Seluruh donasi yang terkumpul akan disalurkan 100% kepada penerima manfaat tanpa potongan. Informasi terbaru mengenai inisiatif ini juga dapat diakses melalui media sosial berbuatbaik.






