Rasa ragu adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup banyak orang. Ia kerap hadir di antara keputusan penting, ketakutan akan kegagalan, dan keinginan untuk melangkah maju. Pengalaman ini juga dialami oleh Syafira Aurel Azalia, seorang mahasiswi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dari Universitas Pamulang, yang sempat bergumul dengan bayang-bayang keraguan diri.
Keraguan terhadap diri sendiri, bagi Syafira, tidak muncul secara mendadak. Awalnya, ia hanya berupa pertanyaan-pertanyaan kecil yang terasa sepele, seperti “Apakah aku cukup baik?” atau “Apakah aku akan diterima?”. Seiring waktu, pertanyaan-pertanyaan tersebut berkembang menjadi ketakutan yang lebih besar. Ia mengaku takut akan kegagalan, khawatir akan kritik, dan cemas tertinggal dari orang-orang di sekitarnya. Kondisi ini membuatnya tanpa sadar mulai bersembunyi di balik ‘topeng’ yang justru membuatnya merasa asing dengan dirinya sendiri. Syafira kerap menghindari berbagai kesempatan, menolak tantangan, dan memilih hidup dalam batasan yang ia ciptakan sendiri akibat keraguan yang membelenggu.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Titik balik dalam perjalanan Syafira datang pada suatu hari yang tampak biasa. Ia mendapat kesempatan untuk berbicara di hadapan banyak orang, sebuah situasi yang selama ini selalu ia hindari. Refleks pertamanya adalah menolak tawaran tersebut. Namun, di tengah kebimbangan itu, muncul suara kecil di dalam hatinya yang berbisik, “Apa salahnya mencoba? Bahkan jika gagal, setidaknya kamu pernah berani.” Dengan perasaan campur aduk antara cemas dan penasaran, Syafira akhirnya mengiyakan.
Saat hari yang dinanti tiba, Syafira merasakan tangannya gemetar dan suaranya nyaris tak stabil. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Namun, ketika ia menatap wajah-wajah audiens yang mendengarkan dengan penuh perhatian, ia merasakan sesuatu yang berbeda. “Aku memang tidak sempurna, tetapi aku hadir sebagai diriku sendiri,” kenangnya. Pada momen itu, ia memutuskan untuk melepaskan ‘topeng’ keraguan dan berdiri apa adanya. Dari pengalaman tersebut, Syafira memahami bahwa keberanian sejati bukanlah ketiadaan rasa takut, melainkan kemampuan untuk tetap melangkah maju meskipun rasa takut itu masih ada.
Keberanian, menurut Syafira, ternyata tidak hadir dalam satu momen tunggal. Setelah pengalaman tersebut, ia mulai menumbuhkannya secara perlahan, dimulai dari hal-hal sederhana. Terkadang, ia berani menyampaikan pendapatnya meskipun berbeda dari mayoritas. Di lain waktu, ia mencoba melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Rasa ragu memang masih sering datang menghampiri, namun Syafira belajar untuk tidak lagi membiarkannya menguasai dirinya. Ia mulai menerima bahwa kesalahan adalah bagian tak terpisahkan dari proses, dan kegagalan bukanlah akhir, melainkan sebuah langkah penting menuju pemahaman diri yang lebih mendalam.
Rasa ragu pernah membuat Syafira terjebak terlalu lama di zona nyaman yang, meski menenangkan, terasa membosankan. Namun, ketika ia berani mengambil satu langkah kecil saja, ia menyadari bahwa dunia di luar zona itu tidak semenakutkan yang ia bayangkan. Di sana, ia menemukan versi dirinya yang lebih kuat, lebih jujur, dan lebih berani. Bagi siapa pun yang saat ini masih bergumul dengan keraguan, Syafira berpesan bahwa perasaan itu adalah hal yang wajar. “Ragu bukan tanda kelemahan, melainkan tanda bahwa kamu sedang bertumbuh,” ujarnya. Ia mendorong agar tidak membiarkan keraguan merampas kesempatan untuk berkembang. “Mulailah dari hal kecil—mengungkapkan apa yang kamu rasakan, mencoba sesuatu yang baru, atau sekadar berani menjadi diri sendiri,” tambahnya. Syafira mengingatkan, setiap individu cukup baik, berharga, dan lebih berani dari yang selama ini mereka kira. Jangan biarkan bayangan ragu menutupi cahaya yang ada di dalam diri.






