Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyambut antusias persiapan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam mengimplementasikan Program Penjaminan Polis (PPP). Langkah ini dipandang krusial untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi jiwa.
Ketua Dewan Pengurus AAJI, Budi Tampubolon, menyatakan bahwa mandat program penjaminan polis sebenarnya telah tertuang dalam Undang-Undang Asuransi Nomor 40 Tahun 2014, dengan target implementasi awal pada 2017. Namun, baru melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), program ini dapat direalisasikan.
“Kami sangat menantikannya, sangat menantikannya,” ujar Budi saat Konferensi Pers Laporan Kinerja Industri Asuransi Jiwa Kuartal III-2025, Senin (8/12/2025). Penunjukan LPS sebagai penyelenggara program penjaminan polis secara resmi baru dilakukan pada 12 Januari 2023.
Industri Asuransi Jiwa Perlu Berbenah
Budi menekankan pentingnya kepercayaan masyarakat sebagai salah satu faktor kunci pertumbuhan industri asuransi jiwa. Ia mencontohkan peran LPS dalam menjaga kepercayaan nasabah perbankan di masa lalu.
“Saya mewakili praktisi asuransi jiwa, sangat memandang positif dan optimisme dengan lahirnya atau akan jalannya, dan semoga dipercepat, LPS yang menjalankan program penjaminan polis ini,” ungkapnya.
Meski demikian, Budi mengingatkan para pelaku industri untuk tidak sepenuhnya bergantung pada program penjaminan polis. Ia mendorong perusahaan asuransi untuk terus berbenah demi meningkatkan kepercayaan publik.
“Seharusnya setiap perusahaan asuransi juga berbenah, supaya kepercayaan masyarakat itu meningkat lagi bukan hanya karena ada LPS-nya, tetapi juga karena upaya kita bersama,” tegasnya.
Besaran Penjaminan dan Iuran Masih dalam Diskusi
Proyeksi awal LPS menyebutkan penjaminan polis akan mencakup nilai pertanggungan antara Rp 500 juta hingga Rp 700 juta per polis. Angka ini diperkirakan dapat melindungi sekitar 90 persen rata-rata nilai polis di Indonesia.
Ketua Bidang Kanal Distribusi AAJI, Albertus Wiryono, berharap nilai penjaminan dapat lebih besar. “Dari asosiasi sebenarnya pengennya lebih besar lebih baik, jadi lebih banyak yang di-cover,” katanya.
Namun, ia memahami bahwa besaran penjaminan yang lebih besar akan berimplikasi pada iuran perusahaan asuransi. Saat ini, besaran iuran masih dalam tahap diskusi antara LPS dan asosiasi untuk mencari nilai yang seimbang dan tidak membebani industri.
“Sebagai nilai permulaan (Rp 500 juta sampai Rp 700 juta) boleh juga ya,” ungkap Albertus, yang juga Presiden Direktur Sun Life Indonesia.
Albertus menambahkan, perusahaan dengan tingkat kesehatan keuangan yang lebih tinggi atau risiko lebih besar akan dikenakan iuran lebih besar. “Tentunya begitu, fairness-nya kan ada di sana,” tuturnya.
Implementasi Program Penjaminan Polis
UU P2SK menetapkan program penjaminan polis mulai berjalan pada 2028. Namun, LPS menyatakan kesiapannya jika ada percepatan implementasi menjadi 2027.
“Dari industri, kami ingin lebih cepat lebih baik, tetapi kita juga kalau sudah diterapkan itu rapi, pasti, manfaatnya bisa diterima dengan pasti,” ucap Albertus.
Albertus menambahkan, “Kalau bisa lebih cepat, tapi sudah siap, 2027 lebih baik, tapi kalau belum 100 persen siap ya tidak apa-apa 2028.”
Skema penjaminan polis oleh LPS akan difokuskan pada proses transfer polis. Polis dari perusahaan yang bermasalah akan dipindahkan ke perusahaan asuransi lain yang memiliki produk sejenis. Hal ini bertujuan menjaga perlindungan nasabah dan mencegah dana keluar dari industri.
Albertus menilai skema ini sejalan dengan prinsip gotong royong dalam asuransi. “Namanya prinsip asuransi juga gotong royong ya, yang kuat bantu yang lemah, yang lagi baik bantu yang susah. Saya rasa prinsip gotong royong ada di sana,” katanya.
Nantinya, akan ada perhitungan agar perusahaan penerima polis tidak terbebani. Perusahaan dengan keuangan kurang sehat akan membayar iuran lebih besar.
Tiga Jenis Penjaminan Polis oleh LPS
Anggota Dewan Komisioner LPS Bidang Program Penjaminan Polis, Ferdinan Dwikoraja Purba, menjelaskan LPS akan menjalankan tiga jenis jaminan:
- Penjaminan Klaim Polis: LPS menjamin pembayaran klaim, baik penuh maupun sebagian, ketika perusahaan asuransi mengalami masalah.
- Pengalihan Portofolio Polis: Portofolio polis dialihkan ke perusahaan asuransi yang sehat, dengan manfaat polis bagi nasabah tetap sama.
- Pengembalian Polis: Jika pengalihan tidak memungkinkan, LPS akan membayar polis sesuai batas penjaminan.
Ferdinan memperkirakan nilai penjaminan antara Rp 500 juta hingga Rp 700 juta akan mencakup 90 persen rata-rata nilai polis di Indonesia. Skema ini akan berjalan otomatis tanpa pilihan pemegang polis.
Program ini akan diformalkan melalui Peraturan Pemerintah (PP), yang akan menetapkan ketentuan teknis lebih lanjut. Meskipun UU P2SK menetapkan 2028 sebagai awal implementasi, LPS menyatakan siap jika dipercepat menjadi 2027.
“Jika dipercepat 2027, LPS telah siap menerapkan,” tegas Ferdinan.
Ferdinan menjelaskan, skema penjaminan polis mengutamakan transfer polis. Hal ini berbeda dengan skema perbankan yang langsung mengembalikan dana.
“Jadi polis yang ada itu kami transfer, karena tadi konsepnya, resolusi asuransi itu adalah menjamina keberlangsungan polis,” jelasnya. Pembayaran jaminan polis menjadi opsi berikutnya.
Perusahaan asuransi yang menerima transfer polis harus sehat secara keuangan dan memiliki rasio risk based capital (RBC) minimal 120 persen.
“Misalnya hari Jumat masih di asuransi A, hari Senin sudah ada di asuransi B dan itu dijamin di Undang-Undang, kami bisa melakukannya,” ungkap Ferdinan, meyakinkan pemegang polis dapat tetap tenang.
Program ini memberikan kewenangan kepada LPS untuk memindahkan polis tanpa persetujuan pemegang polis, dengan jaminan produk yang sama. Hal ini penting untuk mempertahankan skala ekonomi industri asuransi.






