Keuangan

Anggota DPR Nasyirul Falah Amru Tegaskan: “Eksistensi Debt Collector Secara Hukum Telah Hilang dan Harus Dihapus”

Advertisement

Anggota Komisi III DPR RI Nasyirul Falah Amru menegaskan bahwa eksistensi penagih utang atau debt collector secara hukum telah hilang dan seharusnya dihapus atau dilarang. Pernyataan tegas ini muncul sebagai respons terhadap serangkaian insiden kekerasan yang melibatkan penagih utang, termasuk kericuhan yang berujung pada kematian di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, pada Kamis, 13 Desember 2025.

Putusan Mahkamah Konstitusi Jadi Landasan Hukum

Pria yang akrab disapa Gus Falah ini mengingatkan bahwa pada tahun 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan penting yang membatasi kewenangan perusahaan leasing atau pemberi kredit dan penagih utang. Putusan tersebut menyatakan bahwa mereka tidak dapat mengeksekusi objek jaminan atau agunan, seperti kendaraan maupun rumah, secara sepihak.

“Hal itu tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020,” papar Gus Falah dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

Menurut Gus Falah, putusan MK tersebut bersifat final dan mengikat. Artinya, setiap perusahaan leasing dan penagih utang tidak diperbolehkan melakukan aksi pengambilan paksa terhadap debitur yang mengalami keterlambatan pembayaran cicilan. MK menegaskan bahwa eksekusi tidak boleh dilakukan sendiri oleh kreditur, melainkan harus melalui permohonan ke Pengadilan Negeri.

Selain itu, putusan MK juga secara eksplisit melarang adanya teror yang disertai penggunaan kekerasan, ancaman, maupun penghinaan terhadap debitur. “Putusan MK itu sejalan dengan teori negara hukum, bahwa penyelesaian sengketa finansial harus melalui mekanisme hukum yang transparan dan dapat diawasi. Maka eksistensi debt collector sebenarnya bertentangan,” ujar anggota komisi DPR RI yang membidangi hukum, hak asasi manusia (HAM), dan keamanan ini.

Advertisement

Insiden Kalibata Soroti Praktik Penarikan Paksa

Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah mengevaluasi secara menyeluruh standard operating procedure (SOP) penarikan kendaraan oleh pihak penagih utang menyusul insiden pengeroyokan dan kericuhan yang menewaskan dua orang di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Insiden ini menjadi titik puncak dari keresahan publik dan sorotan aparat kepolisian terhadap praktik penarikan paksa aset atau agunan yang dilakukan secara sepihak.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Polisi Budi Hermanto menjelaskan, peristiwa tersebut bermula dari cekcok saat penarikan sepeda motor di jalan. Cekcok terjadi karena anggota Polri yang berada di lokasi tidak terima atas tindakan pencabutan kunci kontak kendaraan tersebut. “Dari situ terjadi penganiayaan secara bersama-sama yang mengakibatkan korban meninggal dunia,” katanya di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, pada Sabtu (13/12/2025).

Seruan Penghapusan Berlandaskan Konstitusi

Secara hukum, dasar utama pelarangan eksekusi sepihak oleh perusahaan leasing atau debt collector adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 yang ditetapkan pada 6 Januari 2020. Putusan tersebut menegaskan bahwa perusahaan kredit ataupun kreditur tidak dapat langsung melakukan eksekusi jaminan fidusia, seperti kendaraan, tanpa persetujuan dari debitur. Apabila debitur keberatan, eksekusi wajib diajukan melalui mekanisme permohonan ke Pengadilan Negeri, sejalan dengan prinsip negara hukum dan untuk menghindari main hakim sendiri serta kekerasan di jalanan.

Oleh karena itu, seruan untuk menghapus atau melarang debt collector bukan hanya didasarkan pada aspek keamanan publik, tetapi pada landasan hukum konstitusional yang mengikat. Hal ini menjadikan setiap aksi pengambilan paksa oleh debt collector tanpa prosedur pengadilan atau tanpa kesepakatan debitur sebagai tindakan yang melanggar hukum.

Advertisement