Berita

Merajut Asa di Sekolah Rakyat: Kisah Dwi Aprilia, Remaja 13 Tahun yang Berani Bermimpi Jadi Dokter

Advertisement

Asrama Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 10 Cibinong menjadi babak baru dalam kehidupan Dwi Aprilia. Remaja berusia 13 tahun ini, yang sebelumnya menghadapi keterbatasan ekonomi keluarga, kini menemukan harapan dan keberanian untuk menata masa depan melalui pendidikan berasrama.

Dwi, anak kedua dari empat bersaudara, tumbuh dalam kondisi serba terbatas. Ayahnya, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang cukur rambut dan kadang menjaga parkir, memiliki penghasilan rata-rata Rp 1,5 juta per bulan. Jumlah tersebut tentu terasa berat untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

“Kadang aku nggak minta jajan kalau ayah uangnya nggak ada. Nggak apa secukupnya saja,” ujar Dwi, menggambarkan kedewasaan yang tak biasa untuk anak seusianya, seperti dikutip dalam keterangan tertulis pada Selasa (23/12/2025).

Empat bulan terakhir, Dwi mulai menempati asrama Sekolah Rakyat. Rutinitasnya kini jauh lebih teratur dan terstruktur. Hari-harinya diisi dengan sholat subuh berjamaah, olahraga, menjaga kebersihan lingkungan asrama, belajar hingga sore hari, serta kembali belajar atau mencuci bersama teman-temannya di malam hari.

“Di rumah, biasanya aku bangun jam 6 pagi, sekolah sebentar terus pulang. Kalau di sini, aku senang kegiatannya banyak, dapat makan tiga kali, snack juga. Lumayan meringankan beban orang tua,” ungkap Dwi, merasakan manfaat besar dari fasilitas yang disediakan.

Mimpi Menjadi Dokter dan Tumbuhnya Kepercayaan Diri

Sekolah Rakyat tak hanya menjadi tempat belajar, melainkan juga rumah kedua bagi Dwi. Di sinilah ia mulai berani merajut mimpi yang lebih tinggi. Saat ditanya mengenai cita-citanya, mata Dwi berbinar penuh harap.

“Aku mau jadi dokter. Jadi kalau orang tua aku sakit, bisa berobat sama aku,” tuturnya.

Namun, raut wajahnya sempat berubah ragu. “Tapi perjalanan jadi dokter panjang ya, gak gampang. Takut gak mampu,” imbuhnya, menyadari tantangan besar, terutama terkait biaya kuliah kedokteran yang tidak sedikit.

Advertisement

Kekhawatiran tersebut wajar, namun Dwi tetap bertekad untuk melanjutkan cita-citanya. Ia telah menyampaikan niatnya kepada guru dan wali asuh, yang kemudian memberinya keyakinan bahwa akan ada bantuan selama ia terus belajar dengan sungguh-sungguh.

Meski dikenal pemalu, Dwi memiliki kecintaan besar pada seni, khususnya menyanyi. Minat ini telah tumbuh sejak ia duduk di kelas 5 SD, dan hingga kini mata pelajaran seni tetap menjadi favoritnya. Karena rasa malu, ia belum pernah mengikuti lomba, namun minatnya tak pernah padam. Perlahan, rasa percaya diri itu mulai tumbuh sejak ia bergabung dengan Sekolah Rakyat.

“Kalau dulu rasa percaya diri aku 40 persen, sekarang udah 80 persen,” katanya bangga, menunjukkan perkembangan signifikan dalam dirinya.

Sosok Ibu sebagai Inspirasi dan Titik Balik Kehidupan

Jauh dari orang tua memang menjadi tantangan tersendiri bagi Dwi. Ia jarang dikunjungi karena kendala jarak dan biaya. Meski demikian, ia memiliki sosok inspiratif yang selalu menjadi sumber semangatnya, yaitu sang ibu.

“Aku ngeidolain Ibu. Capek ngurus rumah, anak-anak, kadang sakit, tapi gak pernah ngeluh. Aku kagum banget,” urai Dwi, mengungkapkan kekagumannya pada ketangguhan ibunya.

Sekolah Rakyat benar-benar menjadi titik balik dalam hidup Dwi. Di tempat ini, ia tidak hanya menemukan ilmu pengetahuan, tetapi juga kemandirian dan keberanian untuk bermimpi besar.

“Terima kasih karena sudah ada Sekolah Rakyat dan sudah mau menampung kami walaupun kami masih ada yang bandel,” pungkas Dwi, menyampaikan rasa syukurnya.

Advertisement
Mureks