Nasional

Ketika Kotabaru Yogyakarta Berdenyut di Malam Hari: Dari Kawasan Tenang Menjadi Pusat Nongkrong Baru

Kotabaru, Yogyakarta, yang selama puluhan tahun dikenal sebagai kawasan hunian tenang dengan deretan rumah bergaya kolonial dan jalan rindang, kini menampilkan wajah berbeda saat malam tiba. Wilayah yang berkarakter khas sebagai Kawasan Cagar Budaya ini bertransformasi menjadi ruang nongkrong yang ramai.

Lampu-lampu kecil mulai menyala di sepanjang sisi jalan, kursi-kursi plastik tersusun rapi, serta aroma kopi dan makanan ringan menguar di udara. Fenomena street cafe hadir mengisi ruang-ruang kota, mengundang pengunjung untuk singgah, berbincang, dan menikmati suasana malam Jogja.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Perubahan wajah Kotabaru ini sejalan dengan meningkatnya minat wisata perkotaan. Kepala Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta, Wahyu Hendratmoko, menjelaskan bahwa kawasan cagar budaya kini tak hanya dikunjungi untuk melihat bangunan bersejarah, tetapi juga untuk merasakan atmosfernya. “Wisata kota berkembang ke arah pengalaman. Orang datang bukan hanya untuk berfoto, tetapi juga menikmati suasana dan interaksi sosial,” ujarnya.

Transformasi Kotabaru tidak terjadi secara instan. Seorang juru parkir setempat yang telah bekerja lebih dari sepuluh tahun di kawasan tersebut, mengingat awal mula kemunculan street cafe. “Dulu hanya ada satu-dua pedagang. Karena ramai dan banyak yang tertarik, akhirnya bertambah,” katanya.

Letak Kotabaru yang strategis dan mudah diakses membuat kawasan ini menarik bagi pelaku usaha kecil. Bagi mereka, berjualan di ruang terbuka dinilai lebih fleksibel dan mendekatkan penjual dengan pembeli. Hal itu diungkapkan Rani, pegawai salah satu street cafe di Kotabaru. “Kalau di pinggir jalan, suasananya lebih santai. Orang juga bisa langsung melihat dan mampir,” tuturnya.

Selain kafe, berbagai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) turut meramaikan kawasan ini. Mulai dari penjual makanan berat hingga camilan tradisional, semuanya berkontribusi menghidupkan malam Kotabaru.

Tantangan Pengelolaan Ruang Publik dan Perizinan

Di balik geliat ekonomi tersebut, muncul tantangan dalam pengelolaan ruang publik. Aktivitas usaha yang memanfaatkan trotoar dan bahu jalan kerap memunculkan persoalan parkir dan mobilitas pejalan kaki, terutama pada akhir pekan.

Dari sisi regulasi, sebagian pelaku usaha masih menghadapi keterbatasan dalam perizinan. Beberapa di antaranya harus menyesuaikan jam operasional sesuai ketentuan yang berlaku. “Biasanya sebelum jam tertentu, kami diminta merapikan kursi. Setelah itu baru boleh buka lebih leluasa,” ujar seorang pegawai street cafe lainnya.

Meski demikian, hingga saat ini hubungan antara pelaku usaha dan warga sekitar relatif berjalan harmonis. Mayoritas lapak beroperasi di area yang berdekatan dengan perkantoran, sehingga tidak langsung berbatasan dengan rumah warga.

Masa Depan Kotabaru: Antara Ekonomi dan Pelestarian

Perubahan Kotabaru memunculkan pertanyaan tentang masa depan kawasan ini. Di satu sisi, street cafe membuka peluang ekonomi dan menciptakan ruang sosial baru. Di sisi lain, status Kotabaru sebagai kawasan cagar budaya menuntut pengelolaan yang lebih berhati-hati.

Pengamat tata kota menilai, penataan yang jelas dapat menjadi jalan tengah. Pengaturan jam operasional, penyediaan ruang parkir, serta kejelasan perizinan dinilai penting agar pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan fungsi ruang dan nilai sejarah kawasan.

Kotabaru hari ini berada di persimpangan antara masa lalu dan masa kini. Ia tidak sepenuhnya meninggalkan identitas lamanya, tetapi juga tidak menolak perubahan. Di sanalah denyut kota bekerja bernegosiasi, beradaptasi, dan terus mencari keseimbangan.

Mureks