Cahaya senja masih menyelimuti Kecamatan Pantee Bidari, Aceh Timur, pada Rabu petang, 24 Desember 2025. Namun, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di wilayah tersebut telah sunyi, seolah tak berpenghuni. Tiga pekan pascabanjir menerjang, fasilitas kesehatan vital ini masih porak-poranda, dipenuhi lumpur dan puing-puing.
Kursi sofa, lemari, meja, timbangan bayi, hingga ranjang pasien berserakan di halaman. Bangunan dan area sekitarnya masih berlumpur tebal, dengan beberapa sudut ruangan tanpa penerangan. Di tengah kesunyian itu, empat sosok merebah lelah di sebuah ruangan beralaskan kardus, dinding dan pintu besinya masih berbekas tanah lumpur.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Perjuangan di Puskesmas yang Lumpuh
Salah satu dari mereka adalah dr. Indra Sunarli, seorang petugas kesehatan yang diperbantukan Kementerian Kesehatan sebagai relawan penanganan pascabanjir. “Di sini kami empat orang,” ujar dr. Indra menyambut kedatangan kumparan.
dr. Indra tiba di Pantee Bidari pada Senin, 22 Desember 2025, dan langsung dihadapkan pada kenyataan pahit: puskesmas lumpuh total. Ruangan pelayanan tergenang lumpur, fasilitas tak dapat digunakan, obat-obatan dan bed pasien terkubur, serta lemari berkas dan fasilitas UGD luluh lantak.
Meski demikian, dr. Indra dan timnya tak punya waktu untuk mengeluh. Tugas utama mereka adalah mengaktifkan kembali pelayanan puskesmas secepat mungkin. Bersama anggota TNI, mereka bahu-membahu membersihkan gunungan lumpur yang menimbun ruang pelayanan, termasuk ruangan yang kini mereka jadikan tempat tinggal darurat.
“Enggak disediakan [tempat tinggal]. Kami menyediakan sendiri. Kami yang cari. Jadi memanfaatkan yang darurat,” ungkap dr. Indra.
Mereka membersihkan sendiri ruangan tanpa alas tidur di sebelah UGD, lalu menutup pintu terali besi yang rusak dengan sehelai tirai. Kondisi ini membuat mereka hidup layaknya pengungsi, berjuang di tengah keterbatasan.
Untuk pelayanan kesehatan, aula puskesmas disulap menjadi ruangan darurat. Hanya ada satu ranjang pasien, sebaris kursi baja, dan beberapa meja untuk menumpuk obat-obatan. Di sinilah dr. Indra, seorang dokter umum, bersama rekan-rekannya yang perawat dan bidan, memberikan pelayanan standar seperti pemeriksaan dan suntik vitamin.
“Bedah kecil ada. Cuma bedah sederhana. Hanya suntik-suntik gitu masih bisa,” jelasnya.
Dalam sehari, mereka melayani 50–60 pasien, belum termasuk pasien yang mereka datangi langsung ke pengungsian. Namun, upaya “jemput bola” ini juga tak luput dari kendala. Alat kesehatan dan obat-obatan yang dibawa masih terbatas, dan layanan ambulans untuk merujuk pasien ke rumah sakit juga minim.
“Ambulans ada tapi enggak bisa digunakan. Paling kita hanya bisa kasih obat, terapinya obat saja untuk sementara,” kata dr. Indra.
Menerjang Jembatan Putus dan Medan Berlumpur
Kondisi serupa dialami dr. Dani Ferdian, pemimpin Tim Tanggap Bencana Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad). Ia dan timnya tiba di Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, pada 14 Desember 2025, dan juga disambut puskesmas yang lumpuh.
Langkah pertama yang mereka lakukan adalah mengaktifkan kembali puskesmas yang, syukurnya, masih utuh meski fasilitasnya ludes. Sembari menunggu pembersihan, dr. Dani dan timnya mengambil langkah taktis dengan memberikan pelayanan kesehatan keliling.
“Goal besarnya bagaimana melakukan reaktivasi terhadap pelayanan kesehatan dasar di puskesmasnya,” cerita dr. Dani kepada kumparan, Rabu (24/12).
Bersama relawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Universitas Malikussaleh (Unimal), dan anggota TNI, mereka membersihkan Puskesmas Langkahan hingga dapat difungsikan darurat per 18 Desember. Pelayanan berjalan paralel dengan pemeriksaan kesehatan keliling.
Setelah misi aktivasi Puskesmas Langkahan rampung, tim dibagi. Sebagian dokter anak, kandungan, dan kulit tetap di Langkahan, sementara sebagian besar dokter penyakit dalam, dokter anak, dan spesialis gizi klinik dikirim ke Bener Meriah. Mereka menerabas hingga Kecamatan Mesidah yang terisolasi dan belum terjamah layanan kesehatan.
Akses menuju Mesidah terputus, membuat pengiriman obat-obatan dan tenaga kesehatan terhambat. Tim Unpad bahkan harus menerjang jembatan putus, memanggul logistik melewati jembatan kayu, lalu menaikkannya ke motor warga di seberang.
Medan yang berat memaksa para dokter Unpad hidup prihatin layaknya prajurit: makan ransum militer dan tidur beralaskan matras atau kantung tidur di Puskesmas Mesidah. Perjalanan berjam-jam melewati kubangan lumpur juga menjadi rutinitas. “Jadi 4–5 jam itu dipakai untuk perjalanan. Pelayanan sekitar 4–5 jam juga di lokasi,” imbuh dr. Dani.
dr. Michelle Mailangkay, relawan Rumah Sakit Apung Laksamana Malahayati milik PDI Perjuangan, juga menempuh empat jam perjalanan dari Kota Langsa menuju Babo, wilayah terdalam Aceh Tamiang. Konsep pelayanan keliling serupa diterapkan, melayani 80–100 pasien per hari.
Dilema Relawan di Tengah Keterbatasan
Para relawan kesehatan mengerahkan segala upaya, namun dihadapkan pada keterbatasan fasilitas kesehatan, obat-obatan, dan kondisi pengungsi. dr. Michelle, saat di Babo, menemukan pengungsi dengan hipertensi dan diabetes melitus yang kakinya sudah luka bernanah tanpa perawatan khusus.
“Yang punya sakit gula sudah sampai luka-luka,” ujar dr. Michelle.
Keterbatasan alat membuat mereka hanya bisa membersihkan luka dengan alkohol dan memberikan obat standar. Upaya ini pun terasa payah karena lumpur masih menyelimuti pengungsian, dan asupan protein serta air bersih yang seret memperburuk kondisi.
“Saya bisa bantu obat, tapi kalau sekiranya ada yang bisa dipilih-pilih nih makanannya, tolong jangan makan yang tinggi garam, yang tinggi gula,” saran dr. Michelle.
Ia menambahkan, “Kami kasih pelayanan dengan edukasi [pasien], cuma kami menyesuaikan sama keadaan di lapangan.”
Kasus hipertensi juga banyak dijumpai dr. Indra, disinyalir karena pengungsi kebanyakan mengonsumsi mi instan. Para relawan tak bisa berbuat banyak karena bantuan makanan yang diterima memang didominasi mi instan dan telur.
“Penyakit yang paling sering, pertama ISPA karena mungkin debu juga. Kemudian hipertensi karena mereka banyak yang mengonsumsi mi,” tutur dr. Indra.
Gejala hipertensi diperparah kondisi psikologis korban. Tim Unpad menemukan banyak kasus Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) di tenda pengungsian. Mereka trauma dengan hujan, cemas berlebihan saat hujan besar terjadi.
“Saat hujan besar terjadi, mereka cemas berlebihan,” kata dr. Dani.
Ancaman Gelombang Kedua Bencana Kesehatan
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, menekankan bahwa pemulihan kesehatan pengungsi tidak berdiri sendiri. Penanganan kesehatan tak akan berhasil tanpa pemulihan kebutuhan primer masyarakat terdampak.
“Kita mau lakukan apa pun, kalau dia masih tetap enggak punya rumah, enggak punya makan, enggak punya segala macam, orangnya akan sakit,” jelas Prof. Tjandra.
Menurutnya, percepatan pembangunan jembatan bukan hanya soal transportasi, tetapi juga berhubungan langsung dengan kesehatan masyarakat. “Seribu kali, sebanyak apa pun dokter dikirim, kalau situasi begitu-begitu terus ya enggak akan beres-beres,” imbuhnya.
Sekjen Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh, dr. Iziddin Fadhil, yang saat ini menghibahkan diri di Puskesmas Karang Baru, Aceh Tamiang, berharap upaya bersama segera terealisasi. Reaktivasi puskesmas dan fasilitas kesehatan sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi penyakit kronis dan menular.
Ia menyinggung pengidap TBC yang putus obat, pasien hipertensi yang berpotensi lebih ganas, hingga pasien yang terancam gagal ginjal. “Tadinya dia tidak menderita penyakit jantung pembuluh darah, akhirnya bisa saja berisiko jadi penyakit jantung. Demikian juga tadinya dia tidak stroke, bisa saja jadi stroke karena hipertensinya tidak terkontrol,” kata dr. Iziddin, mengkhawatirkan meluasnya penyakit di pengungsian.
Kasus penyakit infeksi juga diperkirakan melonjak tajam akibat sanitasi air yang kurang layak, lingkungan berlumpur, dan udara berdebu. dr. Iziddin pun mengkhawatirkan ancaman bencana gelombang kedua.
“Yang kami takutkan dari kondisi hari ini yaitu gelombang kedua disaster. Bukan natural disaster-nya, tetapi health disaster,” tutup dr. Iziddin.






