Nasional

Jantung Berdebar Tak Lagi Membungkam: Kisah Sabina Kebo Menemukan Suara di Hadapan Publik

Berbicara di depan kelas atau khalayak umum seringkali menjadi momok bagi banyak orang, termasuk Sabina Kebo. Mahasiswi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Pamulang ini membagikan perjalanannya menaklukkan rasa takut yang selama ini membungkam suaranya, hingga akhirnya ia perlahan berani berbicara di depan banyak orang.

Sabina mengakui, ada masa ketika berbicara di depan kelas terasa seperti menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri. Bukan karena ia tak memiliki pendapat, melainkan karena rasa takut seringkali datang lebih dulu. Ketakutan akan salah bicara, ditertawakan, atau dinilai oleh banyak pasang mata yang menatap, kerap menghantuinya.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Setiap kali guru atau dosen meminta seseorang maju untuk berbicara, tubuhnya seketika menegang. Tangannya dingin, napasnya terasa pendek, dan pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Dalam situasi seperti itu, diam terasa lebih aman, membuatnya memilih menunduk dan berharap namanya tidak disebut.

Ia sering berpikir bahwa keberanian adalah sesuatu yang hanya dimiliki orang-orang tertentu—mereka yang percaya diri, lantang berbicara, dan terlihat tenang di depan umum. Sementara dirinya, merasa selalu tertinggal jauh. Diam menjadi kebiasaannya, bukan karena tidak mau bicara, tetapi karena tidak tahu bagaimana melawan rasa takut itu.

Titik Balik: Penyesalan yang Mendorong Perubahan

Namun, perlahan Sabina menyadari satu hal: diam tidak selalu membuatnya merasa lebih baik. Justru setelahnya, ada penyesalan yang muncul. Penyesalan karena sebenarnya ia ingin mencoba, ingin menyampaikan pendapat, tetapi memilih mundur sebelum melangkah. Dari sanalah ia mulai bertanya pada diri sendiri—sampai kapan ia akan terus bersembunyi di balik rasa takut?

Keberanian pertamanya tidak datang dalam bentuk pidato panjang atau presentasi yang sempurna. Ia datang dari hal-hal kecil. Dari mencoba mengangkat tangan meski suara bergetar, dari memaksakan diri berbicara walau kalimatnya belum tersusun rapi, dan dari menerima bahwa gugup adalah bagian dari proses.

Tidak jarang Sabina merasa gagal. Ada momen ketika suaranya hampir tak terdengar, pikirannya kosong, dan ia ingin segera kembali ke tempat duduk. Tetapi anehnya, setiap kali ia mencoba, ada sedikit rasa lega. Ia sadar bahwa berbicara di depan banyak orang bukan soal tampil tanpa takut, melainkan tentang tetap melangkah meski takut itu masih ada.

Berdamai dengan Ketidaksempurnaan

Pelan-pelan, Sabina mulai belajar berdamai dengan ketidaksempurnaan. Ia berhenti menuntut dirinya harus selalu tampil baik. Ia hanya berusaha jujur—jujur pada perasaannya, dan jujur pada proses belajarnya. Dari situ, rasa percaya diri yang dulu terasa jauh, mulai tumbuh meski kecil.

Kini, Sabina tidak mengatakan bahwa ia sepenuhnya bebas dari rasa takut. Gugup masih datang, jantung masih berdegup lebih kencang dari biasanya. Namun, perbedaannya adalah ia tidak lagi membiarkan rasa takut itu membungkam suaranya. Ia belajar bahwa suaranya layak didengar, meski disampaikan dengan langkah yang pelan.

Berani bicara di depan kelas dan umum telah mengajarkannya banyak hal—tentang mengenal diri sendiri, tentang menerima kelemahan, dan tentang keberanian yang ternyata bisa dipelajari. Dari diam dan takut, ia perlahan tumbuh, mencoba, dan terus belajar.

Sabina berpesan, jika hari ini masih merasa takut untuk berbicara, tidak apa-apa. Keberanian bukan tentang seberapa lantang suara, melainkan tentang kesediaan untuk mencoba. Mulailah dari langkah kecil, karena dari sanalah perubahan perlahan akan tumbuh.

Mureks