Internasional

Fenomena ‘Self-Reward’ Gen Z: Antara Tekanan Ekonomi dan Dorongan Konsumsi Pengalaman

Advertisement

Jumat, 26 Desember 2025 – Di tengah bayang-bayang tekanan ekonomi dan kenaikan harga yang masih terasa, logika umum seringkali mengarahkan masyarakat untuk menahan belanja dan memprioritaskan kebutuhan pokok. Namun, sebuah temuan terbaru justru mengungkap pola konsumsi yang berlawanan, terutama di kalangan generasi muda.

Associate Professor of Marketing sekaligus Director of Research and Community Service Perbanas Institute, Patria Laksamana, menyoroti peningkatan signifikan belanja Generasi Z (Gen Z) untuk pengalaman atau experiential spending. Kategori ini mencakup wisata, gaya hidup, hingga pembelian barang mewah tertentu.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Fenomena ini terjadi di saat sejumlah indikator ekonomi makro penting menunjukkan pelemahan. Konsumsi rumah tangga, impor bahan baku, dan konsumsi listrik industri kompak menurun. Bahkan, target penjualan mobil tahun ini dipangkas menjadi 780 ribu unit dari target awal 900 ribu unit.

Prioritas ‘Self-Reward’ di Tengah Tekanan

Patria Laksamana mempertanyakan fenomena ini dalam tulisannya yang berjudul “Pola Belanja Gen Z 2025 dan 2026: ‘Self-reward’ Tetap Jadi Prioritas Utama”, yang ditayangkan The Conversation pada Selasa (23/12/2025). “Fenomena ini menarik untuk dibahas bersama. Normalkah fenomena peningkatan belanja pengalaman di tengah tekanan ekonomi saat ini?” tulisnya.

Mengutip ASEAN Consumer Sentiment Study (ACSS) 2025 yang dirilis UOB, Gen Z menjadi katalisator utama konsumsi ekonomi pengalaman. Mereka menyumbang lebih dari 50% total belanja pada kategori tersebut, padahal secara proporsi responden, Gen Z hanya mencakup 31% dari survei. Angka ini jauh melampaui kelompok milenial yang memiliki porsi 42% responden namun kontribusi belanja pengalamannya lebih kecil.

Tren ini menegaskan kuatnya adopsi konsep experience economy di kalangan Gen Z. Dorongan konsumsi mereka tidak lagi bertumpu pada kepemilikan barang, melainkan pada emosi, kenangan, dan pengalaman yang bisa dibagikan. Sebagai generasi yang tumbuh di era digital dan penuh ketidakpastian, Gen Z dinilai lebih menghargai momen dan interaksi sosial.

Tidak heran jika kafe dan destinasi wisata yang viral kerap dipadati pengunjung. Hal serupa terlihat pada tiket konser artis global seperti Blackpink yang selalu habis terjual, meskipun dibanderol jutaan rupiah. Pola ini juga sejalan dengan teori lipstick effect, yakni kecenderungan konsumen tetap membeli produk kecil yang bersifat affordable luxury, seperti kopi premium atau kosmetik, di tengah situasi ekonomi yang memburuk.

Boros tapi Hemat: Paradoks Belanja Gen Z

Memasuki tahun 2026, tren belanja pengalaman ini diperkirakan masih akan berlanjut. Secara demografis, Gen Z dan Generasi Alpha masih berada pada usia produktif dan menjadi kelompok dengan jumlah terbesar, baik secara nasional maupun global.

Meski demikian, peningkatan belanja pengalaman tidak berarti generasi muda mengabaikan tekanan ekonomi. Sekitar enam dari sepuluh konsumen mengaku biaya hidup meningkat dan daya beli tertekan. Banyak di antara mereka menunda pembelian besar, mengurangi belanja non-esensial, serta aktif mencari promosi dan diskon.

Advertisement

Di saat yang sama, Gen Z juga dinilai lebih disiplin dalam menabung, berinvestasi, dan mengelola keuangan. Belanja pengalaman dimaknai sebagai cara mempertahankan rasa kontrol, kebahagiaan, dan kualitas hidup, bukan sebagai perilaku konsumtif tanpa perhitungan. Optimisme terhadap kondisi finansial pribadi pun belum sepenuhnya hilang. Konsumen dinilai tidak berhenti membelanjakan uang, melainkan mengubah prioritas pengeluarannya.

Peluang dan Tantangan bagi Pelaku Usaha

Perubahan perilaku konsumen ini membuka peluang sekaligus tantangan signifikan bagi pelaku bisnis. Menurut Patria, konsumen kini tidak lagi sekadar mencari harga murah, melainkan nilai yang “pantas dan bermakna”. Produk dinilai bukan hanya dari fungsi, tetapi juga cerita, emosi, dan pengalaman yang menyertainya.

“Konsumen kini membeli cerita, emosi, dan makna di balik produk. Brand yang hanya mengandalkan harga murah atau diskon agresif berisiko kehilangan relevansi,” kata Patria.

Pelaku usaha perlu memperkuat value proposition atau nilai utama yang ditawarkan. Di tengah konsumen yang semakin rasional, harga harus dikomunikasikan bersama nilai, apakah itu kualitas pengalaman, kenyamanan, identitas, atau emosi yang ditawarkan.

Segmentasi generasi tidak bisa lagi digeneralisasi. Strategi yang efektif bagi Gen X atau bahkan Baby Boomers tidak selalu relevan bagi Gen Z. Brand perlu memahami bahwa konsumen muda memandang konsumsi sebagai bagian dari gaya hidup dan ekspresi diri. Selain itu, pengalaman omnichannel menjadi semakin penting. Kombinasi pengalaman online dan offline, dari digital engagement hingga interaksi fisik, mampu memperkuat hubungan emosional dengan konsumen.

“Karena itu para pelaku bisnis perlu menekankan konsep affordable premiumisation (produk premium tapi terjangkau), personalisasi berbasis data, serta pengalaman yang mampu memberikan timbal balik yang menyentuh aspek emosional,” jelasnya.

Brand yang mampu menggabungkan efisiensi biaya dengan storytelling, komunitas, dan pengalaman yang bisa menjawab kebutuhan Gen Z dan Gen Alpha, akan lebih tahan banting terhadap gejolak ekonomi. “Sebaliknya, merek yang gagal membaca sinyal ini berisiko tertinggal. Bukan karena produknya tidak dibutuhkan, tetapi karena tidak lagi memberi alasan emosional dan relevan bagi konsumen terbesar yakni gen Z dan gen Alfa,” pungkas Patria.

Advertisement
Mureks