Internasional

Di Balik Batik Para Pemimpin: Strategi Diplomasi Budaya Malaysia dan Singapura di Kancah Regional

Suasana formal dalam pertemuan tahunan antara pemimpin Singapura dan Malaysia pada awal Desember lalu tampak lebih hangat dan berwarna. Alih-alih mengenakan jas gelap konvensional, Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong dan PM Malaysia Anwar Ibrahim, beserta seluruh delegasi, tampil kompak mengenakan busana batik dan tekstil regional. Pilihan busana ini bukan sekadar urusan estetika, melainkan dinilai sebagai strategi diplomasi kebudayaan yang kuat untuk menunjukkan solidaritas di kawasan Nusantara.

Batik sebagai Jembatan Komunikasi Budaya

Dr. Azhar Ibrahim, dosen senior dari Departemen Studi Melayu di National University of Singapore (NUS), menjelaskan bahwa batik berfungsi sebagai jembatan komunikasi yang melampaui batas negara. “Menggunakan ‘semesta budaya batik’ sebagai bagian dari diplomasi kita adalah seperti bahasa yang umum (common language), baik dalam corak maupun gaya,” ujar Dr. Azhar.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Ia menambahkan, “Ini adalah isyarat persahabatan budaya dan sebuah titik di mana kita bisa bersatu, terlepas dari perbedaan yang ada.”

Pesan Tersirat di Balik Motif Busana

Pengamatan mendalam terhadap detail motif yang dikenakan para pemimpin juga terkadang mengungkapkan pesan-pesan tersirat. PM Lawrence Wong terlihat mengenakan tenun, sementara jajaran menterinya menggunakan berbagai motif batik. Oniatta Effendi, pendiri galeri batik Galeri Tokokita, menyoroti motif tambal yang dikenakan oleh Deputi Perdana Menteri Singapura Gan Kim Yong, yang secara tradisional melambangkan perlindungan, penyembuhan, dan restorasi.

Oniatta menilai pilihan busana para pemimpin Singapura ini sangat terukur. “Ini adalah pakaian yang tidak membawa makna kosmologis atau kekuasaan yang berat. Pesan yang mereka kirimkan adalah pesan rasa hormat, literasi budaya, dan kesadaran regional, alih-alih otoritas melalui motif,” jelasnya.

Di sisi lain, para pemimpin Malaysia tampak mengenakan karya dari produsen batik lokal mereka sebagai bentuk dukungan nyata terhadap industri domestik.

Nilai Historis dan Politis Tekstil Asia Tenggara

Secara historis, tekstil di Asia Tenggara memang memiliki nilai politis. Hafiz Rashid, seorang dokumenter museum, mencatat bahwa di masa lalu tekstil merupakan bentuk kekayaan portabel yang sering digunakan sebagai mata uang informal. Di Jawa, motif seperti parang bahkan dulunya hanya boleh dikenakan oleh bangsawan untuk menunjukkan pangkat.

Dr. Azhar mencatat bahwa meski sistem tabu tersebut kini memudar, signifikansinya telah bergeser ke ranah politik modern. Ia mencontohkan bagaimana mantan Presiden Indonesia Joko Widodo kerap menggunakan batik untuk “mengomunikasikan dinamika kekuasaan kepada audiensnya.”

Kedekatan Emosional Singapura dengan Budaya Nusantara

Bagi Singapura, mengenakan batik di panggung dunia adalah cara untuk menunjukkan kedekatan emosional dengan tetangganya. Oniatta Effendi menekankan bahwa meskipun Singapura tidak memiliki garis keturunan pengrajin atau komunitas pembuat batik yang besar, akar diaspora di Singapura tetap melekat erat pada memori Nusantara. “Pada diri seorang pemimpin maupun orang biasa, batik menjadi pesan tentang literasi budaya, martabat, dan rasa memiliki terhadap kawasan ini,” pungkas Oniatta.

Senada dengan Oniatta, Dr. Azhar mengatakan bahwa dengan mengenakan batik, para pemimpin Singapura seolah menegaskan mereka juga mengenal baik budaya negeri tetangganya. “Ketika pemimpin kita bertemu dengan rekan sejawat dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei, batik itu seakan berkata, ‘Saya juga akrab dengan budaya dan estetika Anda’.”

Mureks