Myanmar menggelar pemilihan umum pada Minggu (28/12), tepat lima tahun setelah peristiwa kudeta militer yang menggulingkan pemerintahan terpilih. Pemilu ini berlangsung di tengah konflik bersenjata yang meluas dan pembatasan keamanan ketat, dengan partisipasi pemilih yang dilaporkan minim.
Mengutip laporan AFP, tempat pemungutan suara di wilayah yang dikuasai junta militer, pemerintah otoriter yang berkuasa sejak kudeta Februari 2021, hanya didatangi segelintir pemilih. Situasi ini sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Kecaman Internasional dan Penolakan Warga
Junta militer mengklaim pemilu ini sebagai langkah menuju kembalinya demokrasi. Namun, klaim tersebut menuai kecaman luas dari berbagai pihak, termasuk aktivis, diplomat Barat, hingga Kepala HAM PBB Volker Turk. Mereka menilai pemungutan suara yang digelar bertahap selama sebulan ini sarat kepentingan militer dan diiringi penindasan terhadap perbedaan pendapat.
Mantan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi masih mendekam di penjara, dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), telah dibubarkan serta dilarang ikut dalam kontestasi. Partai pro-militer Union Solidarity and Development Party diperkirakan akan menjadi pemenang utama, yang oleh para pengkritik dianggap hanya akan memberikan legitimasi baru bagi kekuasaan militer.
Myanmar, dengan populasi sekitar 50 juta jiwa, masih terpecah belah akibat perang saudara. Pemungutan suara tidak dilakukan di wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok pemberontak. Putaran pertama pemilu dimulai pukul 06.00 waktu setempat di beberapa daerah, termasuk Yangon, Mandalay, dan ibu kota Naypyidaw.
Seorang pemilih pertama di TPS Yangon, Bo Saw, menyatakan, “Pemilu ini sangat penting dan akan membawa yang terbaik bagi negara.”
Namun, jumlah pemilih jauh lebih sedikit dibandingkan pemilu 2020, ketika antrean panjang terlihat di banyak TPS. Berdasarkan catatan AFP, hanya sekitar 100 orang memberikan suara di dua TPS selama satu jam pertama pemungutan suara. Kampanye besar yang pernah dipimpin Aung San Suu Kyi sebelum kudeta juga tidak terlihat.
Sebagian warga menolak pemilu tersebut. Seorang perempuan bernama Moe Moe Myint mengungkapkan, “Bagaimana kami bisa mendukung pemilu yang dijalankan militer yang telah menghancurkan hidup kami?” Ia menilai mustahil pemilu berjalan bebas dan adil di tengah serangan udara dan konflik bersenjata.
Jenderal Min Aung Hlaing, pemimpin Junta Myanmar, terus menyebut pemilu sebagai jalan menuju rekonsiliasi nasional. Meskipun demikian, mayoritas partai peserta pemilu 2020 telah dibubarkan, memperkuat keraguan akan keabsahan proses demokrasi ini.






