Tindak pidana korupsi oleh pejabat negara selalu memicu kecaman publik, namun skandal yang melibatkan Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam (JMD) pada era 1960-an menjadi salah satu puncak ketidakpuasan yang tak terlupakan. Di tengah krisis ekonomi nasional yang melanda, JMD terbukti menyalahgunakan dana negara secara masif, termasuk untuk membiayai puluhan perempuan yang memiliki hubungan personal dengannya.
Jusuf Muda Dalam dan Celah Pengawasan Era Orde Lama
Jusuf Muda Dalam menjabat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, tepatnya dalam Kabinet Kerja IV dan Kabinet Dwikora, dari tahun 1963 hingga 1966. Sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kebijakan keuangan dan perbankan nasional, minimnya mekanisme pengawasan pada masa itu menciptakan celah signifikan bagi praktik penyimpangan kekuasaan dan korupsi.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Pada Agustus 1966, skandal besar yang menyeretnya mulai terkuak. JMD terbukti menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan orang-orang terdekatnya. Berdasarkan laporan Anak Penyamun di Sarang Perawan (Skandal JMD) tahun 1966, setidaknya ada empat perkara utama yang menjeratnya.
- JMD memberikan izin impor melalui skema Deferred Payment kepada perusahaan-perusahaan importir, berupa penangguhan pembayaran kredit luar negeri dalam jumlah besar yang mencapai US$ 270 juta.
- Dia mengucurkan kredit kepada sejumlah perusahaan yang pada akhirnya membengkakkan defisit negara.
- JMD menggelapkan kas negara atau dana revolusi hingga Rp97,3 miliar.
- Dia juga melakukan penyelundupan senjata dari Cekoslovakia tanpa izin resmi.
Gaya Hidup Mewah di Tengah Krisis
Hasil korupsi yang dilakukan JMD digunakan untuk gaya hidup foya-foya. Dana tersebut dialirkan untuk membeli rumah, tanah, perhiasan, mobil mewah, serta membiayai banyak perempuan. Tercatat, ada 25 perempuan simpanan yang menerima uang dan fasilitas darinya. Selain itu, ia juga memberikan dana kepada enam istrinya. Totalnya, 31 perempuan memperoleh aliran dana dari hasil korupsi JMD.
Menurut laporan koran Mertjusuar pada 9 September 1966, salah satu saksi perempuan menggambarkan JMD sebagai sosok “sangat royal”. Saksi tersebut mengaku sering menerima uang tunai, kendaraan, hingga barang mewah, meskipun ia tidak mengetahui bahwa semua itu berasal dari uang negara yang diselewengkan.
Para istrinya pun tidak luput dari perlakuan serupa. Kabarnya, mereka menerima uang belanja sebesar Rp40 juta setiap bulan, di luar jatah hidup mewah seperti rumah, perhiasan, dan aset lainnya. Dari persidangan juga terungkap bahwa JMD menikahi para perempuan tersebut dalam rentang waktu 1964-1966, dengan rata-rata satu hingga dua kali pernikahan dalam setahun.
Pembelaan Kontroversial dan Vonis Mati
Di hadapan majelis hakim, JMD sempat berkilah bahwa ia tidak memahami kesalahan memiliki banyak istri dan simpanan. “Saya tidak mengetahui bahwa tidak diperkenankan kawin lebih dari 4 orang,” ungkapnya, seperti dikutip dari Mertjusuar edisi 31 Agustus 1966.
Bahkan, ia sempat menyampaikan alasan yang membuat ruang sidang terhening. “Bapak hakim tentunya mengerti mengapa saya keburu kawin sampai enam kali, setelah melihat istri-istri saya yang wajahnya cantik ini.”
Skandal ini memicu kemarahan luas di masyarakat. Pada masa itu, Indonesia sedang menghadapi krisis ekonomi parah, dengan inflasi tinggi dan harga pangan yang melambung. Di tengah penderitaan rakyat, gaya hidup mewah seorang pejabat negara yang membiayai 31 perempuan dari uang rakyat menjadi pukulan telak bagi publik.
Setelah serangkaian persidangan, pada 8 September 1966, majelis hakim menjatuhkan vonis mati kepada Jusuf Muda Dalam. Namun, eksekusi tersebut tidak pernah dilaksanakan. Pada September 1976, sebelum menghadapi regu tembak, JMD meninggal dunia di penjara akibat tetanus. Hingga kini, ia tercatat sebagai koruptor pertama dan satu-satunya yang dijatuhi hukuman mati di Indonesia.






