Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan besar kembali terjadi di Indonesia. Teranyar, sebuah truk bermuatan 38 ton keramik mengalami insiden di kawasan Pasar Kertek, Wonosobo, Jawa Tengah, pada Sabtu (27/12/2025). Peristiwa ini menambah panjang daftar kecelakaan serupa yang kerap terjadi di jalur padat aktivitas masyarakat.
Instruktur keselamatan berkendara sekaligus Founder Jakarta Defensive Driving Consultant (JDDC), Jusri Pulubuhu, menilai kecelakaan berulang seperti di Wonosobo tidak bisa lagi dipandang sebagai musibah semata. Menurutnya, insiden tersebut mencerminkan kegagalan sistem keselamatan transportasi darat yang belum dibenahi secara menyeluruh.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Sistem Keselamatan yang Lemah
Jusri menegaskan bahwa kecelakaan bukan hanya soal takdir, melainkan akibat dari sistem yang lemah. “Jangan hanya berucap syukur karena tidak ada korban jiwa, lalu selesai. Kalau tidak ada pembelajaran, kecelakaan yang sama akan terus berulang. Ini bukan soal takdir, tapi soal kesadaran dan sistem keselamatan yang lemah,” ujar Jusri.
Ia menjelaskan, faktor manusia memang menjadi penyebab utama kecelakaan, sementara kendaraan dan infrastruktur berperan sebagai faktor kontributor. Namun, akar masalah juga harus menjadi perhatian prioritas.
“Kita harus bedakan antara penyebab langsung dan akar permasalahan. Penyebab langsung bisa kita lihat dari kronologinya, tapi akar masalahnya jauh lebih panjang, mulai dari kompetensi pengemudi, perilaku berkendara, sampai sistem pengawasan yang tidak berjalan,” katanya.
Lemahnya Budaya Keselamatan dan Rekrutmen Pengemudi
Jusri juga menyoroti lemahnya budaya keselamatan di sektor angkutan barang dan penumpang. Ia menilai rekrutmen pengemudi di Indonesia masih belum dilakukan secara proper, karena hanya mengandalkan kepemilikan SIM tanpa dibarengi pelatihan dan evaluasi kompetensi yang memadai.
Kondisi ini, menurut Jusri, menyebabkan kerap terjadi kasus kegagalan pengereman atau biasa disebut brake fading. Ini adalah kondisi di mana rem yang terlalu panas akan mengurangi performa pengereman, hingga akhirnya mencapai titik rem blong.
“Awareness pengereman, awareness keselamatan itu lemah. Banyak pengemudi tidak memahami batas kemampuan kendaraan yang mereka bawa. Padahal tanda-tanda kegagalan teknis itu bisa dikenali sejak awal, tapi sering diabaikan,” ucap Jusri.
Masalah Struktural di Perusahaan Angkutan
Selain faktor pengemudi, masalah struktural di tingkat perusahaan angkutan juga menjadi sorotan. Pengawasan jam kerja, inspeksi kendaraan, serta kepatuhan terhadap standar keselamatan dinilai belum berjalan optimal. Tekanan dari pengguna jasa angkutan untuk membawa muatan berlebih juga kerap memperburuk situasi.
“Harusnya kalau sudah mencapai batas berat, jangan dipaksa hanya karena masih ada ruang. Ini bukan soal kapasitas volume, tapi soal berat dan kemampuan teknis kendaraan,” jelasnya.
Menurut Jusri, kondisi tersebut menunjukkan masih adanya “area gelap” dalam dunia logistik dan transportasi darat di Indonesia. Oleh karena itu, pencegahan kecelakaan tidak bisa hanya dibebankan pada pengemudi di lapangan.
Desakan Audit dan Sanksi Tegas
Ia mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan audit keselamatan secara rutin dan menyeluruh, serta berani menjatuhkan sanksi tegas kepada perusahaan angkutan yang melanggar aturan.
“Undang-undangnya sudah ada, aturannya juga jelas. Yang kurang itu implementasinya. Kalau perlu, cabut izin operasionalnya supaya ada efek jera. Kalau tidak tegas, kejadian seperti di Wonosobo akan terus terulang,” kata Jusri.
Jusri menekankan, setiap kecelakaan seharusnya menjadi momentum untuk melakukan perbaikan sistemik melalui rencana perbaikan atau remedial plan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
“Kalau kita mau belajar dari setiap kasus, kecelakaan itu bisa dicegah. Tapi kalau terus dianggap takdir, ya kita akan terus menulis berita kecelakaan yang sama,” pungkasnya.






