Usulan pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat di tengah publik dan parlemen. Beberapa partai politik di Senayan menyatakan sepakat dengan usulan ini, yakni Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Jika wacana ini direalisasikan, perubahan sistem Pilkada dapat diakomodir melalui revisi Undang-Undang Pilkada. Revisi UU Pilkada sendiri telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2025 dan akan dilanjutkan pembahasannya pada tahun 2026.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Nantinya, pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada akan digabungkan dengan pembahasan RUU Pemilu dan RUU Partai Politik. Proses ini akan menggunakan metode kodifikasi di Komisi II DPR RI, yaitu menghimpun berbagai peraturan menjadi satu undang-undang.
Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf, menyatakan bahwa RUU Pilkada belum akan dibahas dalam waktu dekat, termasuk pada awal masa sidang Januari 2026. Ia memperkirakan pembahasan RUU Pilkada, Pemilu, dan Partai Politik akan dimulai pada kuartal pertama 2026, yakni antara Januari hingga Maret.
“(Pembahasan mungkin di kuartal 1,” kata Dede Yusuf.
Partai Gerindra: Efisiensi dan Akuntabilitas
Menteri Luar Negeri sekaligus Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, Sugiono, menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD patut dipertimbangkan. Gerindra secara terbuka mendukung rencana tersebut.
“Gerindra ada dalam posisi mendukung upaya ataupun rencana untuk melaksanakan pemilukada ini oleh DPRD di tingkat bupati, wali kota ataupun di tingkat gubernur,” ucap Sugiono dalam keterangannya, Senin (29/12).
Partai Gerindra menilai sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat lebih efisien dibandingkan Pilkada langsung. Efisiensi ini mencakup proses penjaringan kandidat, mekanisme, anggaran, dan ongkos politik. Sugiono menyoroti peningkatan drastis dana hibah APBD untuk Pilkada, dari hampir Rp 7 triliun pada 2015 menjadi lebih dari Rp 37 triliun pada 2024.
“Itu merupakan jumlah yang bisa digunakan untuk hal-hal lain yang sifatnya lebih produktif, upaya-upaya peningkatan kesejahteraan dan ekonomi rakyat. Saya kira ini adalah sesuatu yang perlu kita pertimbangkan,” jelas Sugiono.
Selain itu, tingginya ongkos politik bagi calon kepala daerah juga menjadi perhatian. Biaya kampanye yang mahal kerap menjadi hambatan bagi sosok kompeten untuk maju.
“Biaya kampanye untuk seorang calon kepala daerah, kita terbuka saja, itu angkanya prohibitif. Mahal. Dan ini yang juga kita harus evaluasi, kita harus cari bagaimana supaya orang-orang yang benar-benar memiliki kemampuan mengabdi kepada masyarakatnya, mengabdi kepada bangsa dan negara itu, bisa maju tanpa harus dihalang-halangi oleh angka dan biaya kampanye yang luar biasa,” tambahnya.
Sugiono menyimpulkan, “Dari sisi efisiensi, baik itu proses, mekanisme, dan juga anggarannya kami mendukung rencana untuk melaksanakan pilkada lewat DPRD.” Ia juga berpendapat bahwa pemilihan melalui DPRD tidak menghilangkan esensi demokrasi, sebab calon dipilih oleh anggota legislatif yang merupakan representasi masyarakat.
“Kalau kita melihat akuntabilitinya itu cenderung lebih ketat. Kalau misalnya partai politik itu ingin bertahan atau tetap hadir di daerah-daerah tersebut, tentu saja mereka harus mengikuti apa yang menjadi kehendak konstituennya,” ujarnya.
Senada, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) sekaligus Ketua DPP Partai Gerindra, Prasetyo Hadi, menekankan perlunya keberanian untuk mengubah sistem jika ditemukan banyak dampak negatif. Tingginya ongkos politik dalam Pilkada langsung menjadi sorotan utama.
“Tetapi kalau kami berpendapat, sekali lagi kami sebagai pengurus partai, salah satu pimpinan di partai, kami berpendapat memang kita harus berani. Harus berani untuk melakukan perubahan dari sistem, manakala kita mendapati bahwa sistem yang kita jalankan sekarang itu banyak juga sisi negatifnya,” tegas Prasetyo Hadi.
Partai Amanat Nasional (PAN): Setuju dengan Catatan
Wakil Ketua Umum DPP PAN, Viva Yoga Mauladi, menyatakan partainya setuju dengan usulan Pilkada tidak langsung atau melalui DPRD. Namun, ia menambahkan bahwa PAN memiliki dua catatan terkait hal ini.
“PAN setuju Pilkada dilaksanakan secara tidak langsung, atau dipilih melalui DPRD, dengan catatan,” kata Viva kepada wartawan, Senin (29/12).
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): Efisien dan Sesuai Pancasila
Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, menegaskan dukungan partainya terhadap usulan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Menurutnya, ini merupakan sikap PKB sejak lama.
Cak Imin menilai wacana ini sebagai implementasi Pancasila dan lebih efisien dibandingkan Pilkada langsung.
“Ya tentu ini bagian dari evaluasi yang terus kita dalami. Saya secara prinsip setuju karena itu efisien dan melaksanakan sila kelima, dari musyawarah mufakat untuk demokrasi kita,” ujar Cak Imin usai acara di Semarang, Minggu (15/12).
Partai Golkar: Hasil Rapimnas dan Kajian Internal
Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, mengungkapkan bahwa partai beringin telah menggodok opsi pemilihan kepala daerah melalui DPRD dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Partai Golkar.
Hasilnya, hampir seluruh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar mengusulkan agar Pilkada dilaksanakan melalui DPRD, meskipun ada beberapa yang menyampaikan catatan.
“Dalam Rapimnas I Partai Golkar kemarin, hampir seluruh DPD Provinsi dalam pandangan umumnya, mengusulkan agar Pilkada dilaksanakan melalui DPRD. Walaupun ada yang menyampaikan dengan beberapa catatan,” ucap Doli kepada wartawan, Senin (29/12).
Doli menambahkan, DPP Partai Golkar juga telah membentuk Tim Kajian Politik yang bekerja selama 1,5 tahun. Tim tersebut telah menghasilkan beberapa rekomendasi terkait sistem Pemilu, Partai Politik, termasuk Pilkada. Tiga opsi yang direkomendasikan adalah pemilihan langsung, pemilihan melalui DPRD, dan pemilihan hibrida (DPRD untuk Gubernur, serta hibrida untuk Bupati/Wali Kota).
Golkar akhirnya memilih opsi Pilkada melalui DPRD sebagai usulan utama karena tingginya biaya politik dalam Pilkada langsung.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS): Masih Mengkaji
Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Kholid, menyatakan pihaknya belum memutuskan sikap terkait usulan ini. PKS masih terus mengkaji karena isu ini menyangkut demokrasi dan kepentingan rakyat.
“Kami sedang mengkajinya mana yang terbaik buat masyarakat dan masa depan demokrasi kita,” kata Kholid kepada wartawan di Jakarta, Senin (29/12).
Kholid menambahkan, PKS akan mendengarkan berbagai masukan dari para ahli, masyarakat sipil, organisasi kemasyarakatan, kampus, dan tokoh bangsa sebelum menentukan sikap. PKS juga terbuka untuk berdiskusi dengan rekan-rekan partai koalisi.
“Kita juga ingin dengarkan masukan dari para ahli, dari masyarakat sipil, ormas, kampus, dan tokoh-tokoh bangsa,” ucapnya.
Partai Demokrat: Perbaiki Sistem, Jangan Rampas Hak Rakyat
Ketua Dewan Pakar Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, memberikan sejumlah catatan kritis terhadap usulan pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Andi menjelaskan, wacana ini muncul karena kesan Pilkada langsung yang mahal, baik dari biaya kampanye maupun penyelenggaraan, serta maraknya politik uang.
Namun, Andi menegaskan bahwa masalah tersebut seharusnya diperbaiki, bukan dengan mengubah sistem yang merampas hak rakyat.
“Tapi kalau itu masalahnya, maka mari kita memperbaikinya. Kalau maraknya money politics, solusinya adalah penegakan hukum yang keras dan konsisten. Juga perlunya memperkuat kewenangan Bawaslu,” kata Andi kepada wartawan di Jakarta, Senin (29/12).
Mengenai mahalnya biaya kampanye, mantan anggota KPU ini mengusulkan solusi “spending cap” atau pembatasan pengeluaran kampanye, mirip model di liga sepak bola Eropa.
“Pembiayaan kampanye setiap kandidat dan partai dibatasi dengan jumlah yang tepat, tidak jorjoran. Begitu juga pembatasan penerimaan kampanye,” jelas Andi.
Untuk biaya penyelenggaraan yang mahal, Andi memaparkan solusi dengan memotong jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga separuh, yaitu dengan menaikkan jumlah pemilih per TPS hingga 1.000 orang. Waktu pemilihan juga bisa diperpanjang hingga pukul 16.00 WIB, mengingat hanya ada tiga kotak suara dalam pemilu daerah (DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan Pilkada).
“Waktu pemilihan juga bisa diperpanjang sampai pukul 16.00. Toh, hanya 3 kotak suara dalam pemilu daerah, yaitu kotak suara DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan Pilkada, sehingga menghitungnya bisa cepat. Lebih efisien lagi jika menggunakan teknologi e-voting,” papar Andi.
Andi Mallarangeng mengingatkan agar hak rakyat untuk memilih kepala daerahnya tidak dirampas. “Alih-alih kita merampas hak rakyat untuk memilih Kepala Daerahnya dan memberikannya kepada elite politik di DPRD, lebih baik kita memperbaiki sistem pilkada langsung,” tegasnya.
Ia juga menilai bahwa Pilkada oleh DPRD justru berpotensi memindahkan politik uang dari elektoral ke ranah legislatif, seperti yang terjadi di era Orde Baru.
“Bisa lihat dahulu sejak zaman Orba. Itu hanya memindahkan money politics elektoral menjadi money politics di DPRD,” kata Andi.
Andi khawatir, jika sistem ini diterapkan, pemimpin yang terpilih akan menjadi kehendak oligarki kekuasaan, bukan rakyat. “Yang terpilih pastilah yang dikehendaki oleh oligarki kekuasaan, bukan oleh rakyat. Seluruh 38 gubernur dan 514 bupati dan wali kota serta wakil-wakilnya ditentukan oleh 8 orang Ketum Partai yang ada di DPR. Kita akan kehilangan pemimpin yang berakar ke rakyat dan digantikan oleh pemimpin yang berakar ke atas,” pungkasnya.






