Ajaran Islam sejak awal kehadirannya membawa pesan fundamental tentang keadilan. Al-Qur’an secara berulang kali menegaskan bahwa keadilan bukan sekadar nilai moral, melainkan prinsip dasar yang utama dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, realitas sosial hari ini justru kerap memperlihatkan kenyataan yang bertolak belakang.
Ketimpangan ekonomi dan sosial semakin meluas, termasuk dalam akses keadilan hukum yang timpang, di mana masyarakat yang lebih membutuhkan sering kali berada di posisi paling dirugikan. Fenomena ini terjadi bahkan di tengah masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: jika Islam mengajarkan keadilan, mengapa ketimpangan terus terjadi?
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Keadilan dalam Islam: Bukan Sekadar Slogan
Dalam Islam, keadilan bukan hanya topik pembicaraan, melainkan menuntut keberpihakan pada kebenaran, bahkan ketika hal itu merugikan diri sendiri atau kelompok terdekat. Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat beriman untuk berlaku adil, meskipun terhadap orang yang tidak disukai. Ini menunjukkan bahwa keadilan bukanlah alat untuk membenarkan kepentingan pribadi, melainkan prinsip yang berlandaskan hati nurani.
Namun, dalam praktiknya, nilai luhur ini sering kali hanya menjadi slogan. Keadilan dipuji di atas mimbar, tetapi belum sepenuhnya diterapkan dalam kebijakan publik. Agama kerap kali hanya menjadi simbol di ruang publik, sementara esensi ajarannya justru tertinggal jauh di belakang.
Ketimpangan sebagai Masalah Struktural
Ketimpangan sosial tidak muncul secara kebetulan. Ia tumbuh dari struktur sosial, ekonomi, dan hukum yang tidak seimbang. Ketika akses pendidikan yang layak hanya dinikmati sebagian orang, atau ketika hukum lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, ketidakadilan menjadi masalah yang terstruktur, bukan sekadar insiden.
Di sinilah letak persoalannya: ketimpangan sering kali dipandang sebagai takdir, alih-alih sebagai konsekuensi dari kebijakan dan pilihan manusia. Padahal, Islam justru menolak cara berpikir demikian. Ketidakadilan bukanlah kehendak Tuhan, melainkan hasil dari kelalaian manusia dalam menjaga tanggung jawab sosial.
Agama yang Kehilangan Daya Kritik
Salah satu alasan mengapa ketimpangan terus terjadi adalah ketika agama kehilangan peran kritisnya. Agama seringkali digunakan untuk menenangkan umat, bukan untuk menggugah mereka. Ia hadir untuk meredakan keresahan, bukan untuk menyelidiki akar ketimpangan yang justru menciptakan keresahan itu sendiri.
Dalam situasi seperti ini, agama justru bisa menjadi alat untuk membenarkan kondisi yang ada. Ketika ketimpangan dianggap wajar selama dibungkus dalam narasi tentang kesabaran dan keikhlasan, nilai keadilan justru semakin tereduksi. Padahal, dalam Islam, kesabaran tidak berarti pasrah menerima ketidakadilan dalam diam.
Antara Kesalehan Pribadi dan Kewajiban Sosial
Fenomena lain yang patut dicermati adalah meningkatnya kesalehan pribadi yang tidak berbanding lurus dengan kepedulian sosial. Ibadah ritual terus berjalan dan simbol keagamaan semakin menguat, namun kesadaran akan penderitaan orang lain justru semakin berkurang.
Islam tidak memisahkan antara kesalehan pribadi dengan kewajiban sosial. Ibadah tidak hanya berupa hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga harus terwujud dalam hubungan horizontal dengan sesama manusia. Jika agama hanya dipahami sebagai urusan pribadi, maka keadilan sosial berpotensi terabaikan.
Menghidupkan Kembali Spirit Keadilan
Menghadapi masalah ketimpangan, agama Islam sebenarnya telah memberikan pedoman etika yang jelas, yaitu kepedulian terhadap kaum lemah, pemberian bantuan secara adil, serta penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Keadilan tidak cukup hanya untuk dibicarakan, tetapi harus diperjuangkan. Dalam masyarakat modern, ini berarti berani mengkritik sistem yang tidak adil, mendukung kebijakan yang membela kelompok rentan, serta menolak menerima ketidakadilan sebagai hal biasa demi stabilitas atau tradisi.
Penutup
Ketimpangan yang terus terjadi bukanlah tanda kegagalan agama Islam, melainkan kegagalan umat dalam menerapkannya secara benar dan utuh. Islam telah memberikan dasar-dasar nilai keadilan secara jelas. Masalahnya bukan pada kurangnya ajaran, tetapi pada kurangnya keberanian untuk menjadikannya pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Pada akhirnya, persoalan keadilan bukan hanya mempertanyakan apakah Islam mengajarkannya, tetapi seberapa jauh kita bersedia menanggung konsekuensi untuk mewujudkannya. Sebab, keadilan dalam Islam bukan hanya sekadar keyakinan, melainkan juga kewajiban yang harus dilaksanakan.






