Pemerintah memastikan tidak akan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok pada tahun 2026. Keputusan ini membawa angin segar bagi para pengusaha rokok yang selama ini menghadapi tekanan berat, termasuk penurunan produksi dan maraknya peredaran rokok ilegal.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan kebijakan tersebut diambil setelah berdiskusi intensif dengan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) serta produsen besar seperti Djarum, Gudang Garam, dan Wismilak. Pertemuan daring tersebut berlangsung pada Jumat, 26 September 2025.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Purbaya mengungkapkan, dalam diskusi tersebut, ia sempat menawarkan opsi penurunan tarif cukai. Namun, para produsen justru meminta agar besaran cukai tidak diubah. “Ya udah nggak saya ubah. Tadinya saya mau nurunin. Jadi kesalahan mereka saja itu, tahu gitu minta turun. Jadi 2026, tarif cukai nggak kita naikkin,” kata Purbaya, dikutip pada Jumat (26/12/2025).
Keputusan untuk tidak menaikkan cukai rokok ini, lanjut Purbaya, telah mempertimbangkan berbagai variabel penting. Hal ini mencakup keberlanjutan industri, penciptaan lapangan kerja, aspek kesehatan masyarakat, serta upaya menekan peredaran rokok ilegal. “Karena saya nggak mau industri kita mati. Terus kita biarkan yang ilegal hidup,” ungkap Purbaya di Istana Negara, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Produksi Rokok Terus Melandai Akibat Downtrading dan Ilegal
Kebijakan tidak menaikkan cukai rokok ini diharapkan dapat memberi nafas bagi industri yang disebut kian sunset. Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan menunjukkan tren penurunan produksi rokok dari tahun ke tahun.
Pada Agustus 2025, produksi rokok tercatat mencapai 25,5 miliar batang, anjlok 9,25% dibandingkan Juli 2025 (month to month/mtm). Angka ini juga melandai 2,07% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Penurunan produksi di Agustus ini berbanding terbalik dengan historisnya yang biasanya menunjukkan kenaikan.
Secara kumulatif, produksi rokok Januari-Agustus 2025 mencapai 197 miliar batang, turun 1,93% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angka ini merupakan yang terendah sejak 2020 atau dalam lima tahun terakhir.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama menyoroti dua faktor utama di balik penurunan produksi ini: maraknya rokok ilegal dan fenomena downtrading. “Produksi tembakau menunjukkan tren terkendali meski 2025 tidak terjadi penyesuaian tarif cukai. Di samping itu juga terjadinya downtrading khususnya pergeseran dari konsumsi sigaret kretek ke sigaret kretek tangan atau jenis rokok dengan harga yang lebih murah,” jelas Djaka di Komisi XI DPR, dikutip Kamis (11/9/2025).
Downtrading adalah pergeseran perilaku konsumen dari produk yang lebih mahal ke produk yang lebih murah. Fenomena ini menyebabkan banyak perusahaan rokok yang mengandalkan mesin mengalami penurunan produksi dan penjualan.
Strategi Pemerintah Basmi Rokok Ilegal dan Dukung Industri Kecil
Selain menahan kenaikan cukai, Kementerian Keuangan juga fokus membersihkan pasar dari rokok ilegal, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Purbaya menegaskan bahwa produk-produk ilegal ini tidak membayar pajak, sehingga merugikan negara dan industri legal.
Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Keuangan berencana membuat sistem khusus bagi industri hasil tembakau (IHT) melalui sentralisasi. “Ada mesin, gudang, pabrik dan bea cukai di sana jadi konsepnya sentralisasi. One stop service ini sudah jalan di Kudus dan Pare Pare. Kita akan kembangkan lagi supaya rokok ilegal masuk ke kawasan khusus mereka bisa bayar pajak sesuai kewajibannya,” ujar Purbaya.
Purbaya yakin strategi ini akan menarik rokok ilegal masuk ke dalam sistem. Dengan demikian, pemerintah tidak hanya membela industri besar, tetapi juga industri kecil. “Jadi mereka bisa masuk ke sistem kita nggak hanya bela perusahaan-perusahaan besar tapi kecil bisa masuk ke sistem dan tentunya bayar cukai. Kan kita atur mereka bisa kerja sama perusahaan-perusahaan besar,” paparnya.
Langkah ini dinilai strategis untuk menjaga keberlangsungan industri dan lapangan kerja. “Kalau kita bunuh semua matilah mereka jadi tujuan kita untuk ciptakan lapangan kerja tidak terpenuhi juga. Jadi kita harus buat satu sistem khusus IHT,” tegasnya.
Salah satu implementasi rencana ini adalah pembangunan kawasan industri khusus bagi produsen rokok ilegal di Kudus, Jawa Tengah, yang akan melengkapi Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) Kudus. Kawasan seluas 5 hektare ini diharapkan dapat menarik produsen rokok ilegal untuk bertransformasi menjadi industri hasil tembakau kecil menengah yang legal.
Purbaya memastikan, para produsen rokok ilegal yang bersedia pindah ke KIHT akan diampuni dan difasilitasi untuk memiliki rantai produksi legal, termasuk mendapatkan pita cukai hasil tembakau (CHT) yang terjangkau. “Tapi setelah itu ke depan kita akan bertindak keras, jadi mereka kita kasih ruang legalkan produknya dengan nanti pita cukai kita kasih yang terbaik,” tegasnya.
Besaran tarif pita cukai terjangkau bagi produsen rokok kecil ini sedang dirumuskan oleh DJBC, dengan jaminan tidak akan mengganggu pasar IHT. “Jadi kita akan menciptakan pasar yang fair untuk industri besar maupun kecil sehingga semua bisa hidup. Yang penting lapangan kerja tetap terjaga tapi bayarnya ya bayar lah jangan enggak bayar,” pungkas Purbaya.
Sebagai informasi, hingga November 2025, total penindakan peredaran rokok ilegal mencapai 17.641 kasus. Sebanyak lebih dari 1 miliar batang rokok ilegal berhasil diamankan, naik 34,9% secara tahunan. Mayoritas rokok ilegal yang ditindak adalah sigaret kretek mesin (SKM) dengan porsi 74,2%, diikuti sigaret putih mesin (SPM) 20,5%, dan jenis lainnya 5,3%.






