JAKARTA, SELASA (30/12/2025) – Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) menyuarakan kritik keras terhadap wacana kenaikan Pungutan Ekspor (PE) sawit. Kebijakan ini, yang dikaitkan dengan rencana peningkatan mandatori biodiesel dari B40 menjadi B50 pada tahun 2026, dinilai berisiko merusak ekosistem kelapa sawit secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir.
Ketua Umum POPSI, Mansuetus Darto, menegaskan bahwa kenaikan PE akan secara signifikan melemahkan daya saing sawit Indonesia di pasar global. Hal ini disebabkan oleh penambahan komponen biaya ekspor, khususnya cost, insurance, and freight (CIF).
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
“Tujuan awal dari program biodiesel itu adalah untuk mengintervensi stabilisasi pasar dan tidak bisa mendominasi hingga B50. Karena itu, mendesain kebijakan biodiesel hingga sangat dominan adalah sesuatu yang keliru,” ujar Darto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/12/2025).
Petani Terancam Rugi, Dana BPDP Terkuras
POPSI khawatir jika kebijakan B50 tetap dipaksakan dengan sumber pendanaan utama dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), petani sawit akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Dana BPDP yang seharusnya dialokasikan untuk program-program krusial seperti peremajaan, peningkatan produktivitas, penguatan sumber daya manusia, serta dukungan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), dikhawatirkan akan terpinggirkan.
Saat ini, pungutan ekspor sawit berada di kisaran 75 hingga 95 dollar AS per ton, bergantung pada harga crude palm oil (CPO) internasional. POPSI mencatat bahwa dana BPDP telah banyak terkuras untuk menutup selisih harga biosolar sawit dengan solar impor. Akibatnya, sejumlah program petani tersendat dan berpotensi kehabisan dana pada pertengahan 2026.
Dampak Langsung pada Harga TBS
Kenaikan pungutan ekspor juga berdampak langsung pada harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani. POPSI mengingatkan bahwa harga referensi CPO untuk Juni 2025 telah turun 7,36 persen menjadi 856,38 dollar AS per ton, dipicu oleh lonjakan produksi di Malaysia dan melemahnya permintaan dari India.
Berdasarkan studi Serikat Petani Kelapa Sawit pada tahun 2018, setiap kenaikan pungutan ekspor sebesar 50 dollar AS per ton berkontribusi terhadap penurunan harga TBS sekitar Rp 435 per kilogram. Anggota POPSI sekaligus Ketua Umum APKASINDO Perjuangan, Alvian Rahman, menegaskan bahwa petani selalu menanggung dampak akhir kebijakan biodiesel.
“Petani tidak menikmati langsung program biodiesel, tetapi selalu diminta membayar mahal melalui turunnya harga Tandan Buah Sawit (TBS). Ini ketimpangan kebijakan yang terus berulang,” kata Alvian.
Evaluasi Menyeluruh Diperlukan
Pandangan serupa disampaikan Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF, Abra Talattov. Ia menilai bahwa rencana menuju B50 seharusnya didahului dengan evaluasi menyeluruh atas kebijakan sebelumnya, termasuk pelaksanaan amanat Presiden Nomor 132 Tahun 2024.
“Kondisi saat ini berbeda dibandingkan saat kebijakan sebelumnya diterapkan,” ujar Abra.
Solusi POPSI: Subsidi Terarah dan Fleksiblending
POPSI menegaskan tidak menolak program biodiesel, namun meminta kebijakan tersebut didesain ulang agar lebih adil dan berkelanjutan. Salah satu usulan yang diajukan adalah penerapan subsidi biodiesel yang lebih terarah, hanya untuk sektor Public Service Obligation (PSO), dengan batas atas subsidi maksimal sekitar Rp 4.000 per liter.
Selain itu, POPSI mengusulkan penerapan konsep fleksiblending, dengan B30 sebagai batas minimum. Penyesuaian bauran biodiesel diusulkan dilakukan secara dinamis, mengikuti fluktuasi harga CPO dan minyak fosil. Pendekatan ini, menurut POPSI, dapat menjaga keberlanjutan pendanaan BPDP sekaligus melindungi pendapatan petani sawit.






