Internasional

Pegawai dan Pengusaha Kategori Ini Tak Wajib Bayar Pajak Rutin, Simak Ketentuannya

Setiap warga negara Indonesia memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi kepada negara melalui pembayaran pajak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib yang bersifat memaksa, tanpa imbalan langsung, dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Namun, tidak semua individu atau badan usaha masuk dalam kategori wajib pajak yang harus menyetorkan penghasilannya secara rutin. Pemerintah memberikan sejumlah kelonggaran berupa insentif atau keringanan pajak bagi golongan tertentu, baik untuk wajib pajak perorangan maupun perusahaan.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Insentif Tax Holiday untuk Perusahaan

Salah satu bentuk insentif yang diberikan pemerintah kepada perusahaan adalah tax holiday. Fasilitas ini ditujukan bagi perusahaan atau badan usaha yang baru berdiri untuk menarik investasi langsung, berupa pembebasan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) badan.

Pengurangan PPh badan dibagi menjadi dua kriteria. Pertama, pengurangan sebesar 100% dari PPh badan terutang untuk penanaman modal baru dengan nilai minimal Rp 500 miliar. Kedua, pengurangan sebesar 50% untuk penanaman modal baru dengan nilai minimal Rp 100 miliar dan maksimal kurang dari Rp 500 miliar.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130 Tahun 2020, pemberian insentif tax holiday ini akan berakhir pada 31 Desember 2025. Meski demikian, pemerintah berencana memperpanjang kebijakan tersebut hingga tahun 2026 dengan beberapa modifikasi, mempertimbangkan kesepakatan global terkait penerapan global minimum tax (GMT).

Direktur Jenderal Stabilitas Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, pada Selasa (30/12/2025) di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, menyatakan, “Jadi PMK tax holiday itu sedang kita proses untuk dilanjutkan 2026.”

Keringanan PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah

Untuk wajib pajak orang pribadi, pemerintah juga memberikan insentif pembebasan pajak. Contohnya, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025 yang merupakan perubahan dari PMK Nomor 10 Tahun 2025.

Dalam regulasi tersebut, pekerja tertentu di sektor pariwisata diberikan keringanan pembayaran pajak yang ditanggung pemerintah pada tahun ini. Golongan pekerja yang dimaksud adalah pegawai tetap atau tidak tetap yang berpenghasilan tidak lebih dari Rp 10 juta per bulan, serta memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Ketentuan serupa juga berlaku bagi pekerja di sektor usaha alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit, yang sebelumnya telah menerima insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP).

Insentif PPh Pasal 21 DTP bagi pekerja di bidang pariwisata berlaku untuk masa pajak Oktober hingga Desember 2025. Sementara itu, bagi pekerja di sektor alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit, insentif ini berlaku untuk masa pajak Januari hingga Desember 2025.

Sebagaimana dikutip dari bagian menimbang PMK 72/2025 pada Rabu (29/10/2025), “Bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memperluas penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat, diperlukan dukungan pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi 2025 untuk program akselerasi 2025, antara lain berupa perluasan pemberian fasilitas fiskal Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah untuk sektor pariwisata.”

Golongan Lain yang Dikecualikan dari Kewajiban Pajak

Selain insentif di atas, terdapat beberapa golongan lain, baik orang pribadi maupun badan usaha, yang juga tidak wajib membayar pajak. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PPh), sebagai regulasi turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Nomor 7 Tahun 2021.

1. Penghasilan di Bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Masyarakat dengan gaji di bawah Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun tidak dikenakan pajak. Aturan ini menetapkan bahwa PTKP yang berlaku saat ini masih tetap Rp 4,5 juta per bulan. Pekerja dengan gaji mulai dari Rp 4,6 juta ke atas akan dikenakan pajak setiap tahunnya dengan tarif terendah 5%. Artinya, pekerja dengan gaji Rp 5 juta per bulan atau Rp 60 juta per tahun mulai dikenakan pajak.

Lebih lanjut, wajib pajak dengan gaji di bawah Rp 4,5 juta per bulan juga diperbolehkan untuk tidak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Syaratnya adalah mengajukan permohonan Non-Efektif (NE). Dengan status NE, wajib pajak tidak perlu melaporkan SPT setiap tahun dan tidak akan diberikan surat teguran meskipun tidak menyampaikan SPT.

Berikut adalah perhitungan tarif pajak bagi individu:

Penghasilan Kena PajakTarif Pajak
Hingga Rp 60 juta5%
Rp 60 juta hingga Rp 250 juta15%
Rp 250 juta hingga Rp 500 juta25%
Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar30%
Di atas Rp 5 miliar35%

2. UMKM dengan Pendapatan di Bawah Rp 500 Juta per Tahun

Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memiliki pendapatan di bawah Rp 500 juta per tahun tidak dikenakan pajak. Artinya, UMKM dengan omzet maksimal Rp 500 juta setahun tidak dikenakan PPh Final 0,5% dari peredaran bruto.

Kebijakan ini juga diatur dalam PP Nomor 55 Tahun 2022. Meskipun demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tetap mengimbau UMKM untuk melaporkan SPT atas pajaknya. Aturan ini memiliki jangka waktu selama 7 tahun sejak Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dibuat.

3. Pengusaha dengan Status Rugi

Perusahaan atau Wajib Pajak (WP) Badan yang mengalami kerugian dapat dikenakan pajak minimum apabila memiliki pajak penghasilan terutang tidak lebih dari 1% dari penghasilan bruto. Ketentuan ini tertuang dalam Revisi UU Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Wajib pajak badan dengan kriteria tertentu dapat dikecualikan dari PPh minimum. Apabila dilakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak badan, PPh minimum akan diperhitungkan dalam penetapan pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan. Tata cara penghitungan PPh minimum dan kriteria wajib pajak badan tertentu akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat 2 tentang Pajak Penghasilan Badan juga mengatur mengenai kompensasi kerugian. Beleid ini menyebutkan: “Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.”

Ini berarti wajib pajak dapat menggunakan kerugian keuangannya untuk mengurangi keuntungan pada tahun pajak berikutnya, sehingga pajak terutang menjadi lebih kecil atau bahkan tidak terutang sama sekali. Dengan demikian, kerugian keuangan perusahaan dapat dikompensasikan dengan laba neto fiskal dimulai pada tahun pajak berikutnya, berturut-turut sampai dengan lima tahun.

Mureks