Nasional

Mengukir Karakter Bangsa: Menilik Peran Vital Pendidikan Moral di Lingkungan Sekolah

Sekolah seringkali dipandang sebagai institusi yang semata-mata mentransfer ilmu pengetahuan. Namun, lebih dari itu, lembaga pendidikan formal ini memiliki peran fundamental dalam membentuk karakter dan menumbuhkan solidaritas sosial di kalangan siswa. Sosiolog terkemuka, Emile Durkheim, jauh hari telah menekankan bahwa pendidikan moral adalah esensi sejati dari sekolah, sebuah konsep yang kini relevan dengan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dan nilai-nilai Pancasila di Indonesia.

Sekolah sebagai Laboratorium Pembentukan Karakter

Durkheim memandang sekolah sebagai “laboratorium” tempat siswa tidak hanya belajar matematika atau sains, tetapi juga mengasah karakter. Baginya, meskipun ilmu pengetahuan penting, pendidikan moral adalah inti dari fungsi sekolah. Pendidikan ini menumbuhkan penghormatan terhadap norma-norma kolektif dan membangun rasa solidaritas sosial. Dengan demikian, setiap sekolah, secara tidak langsung, berperan mengajarkan siswa untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan berintegritas. Pemikiran ini sangat relevan di Indonesia, terutama dengan fokus pemerintah pada penguatan pendidikan karakter nasional sejak dini.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

Membangun Solidaritas Organik di “Masyarakat Miniatur”

Dalam kerangka teori Durkheim, masyarakat modern mempertahankan kesatuan melalui solidaritas organik, yakni rasa kebersamaan yang muncul dari perbedaan peran dan fungsi setiap individu. Sekolah, dalam konteks ini, berfungsi sebagai “masyarakat miniatur” yang merefleksikan prinsip tersebut. Di dalamnya, siswa belajar hidup berdampingan dengan aturan universal.

Durkheim menegaskan, sekolah membuat kita merasa bagian dari sesuatu yang lebih besar. “Ia melatih siswa bekerjasama dengan orang-orang yang bukan keluarga atau sahabatnya,” ujarnya. Melalui rutinitas sekolah, anak-anak belajar menghargai norma bersama, seperti disiplin waktu, kerapian berpakaian, dan kepatuhan terhadap tata tertib, sekaligus menumbuhkan tanggung jawab kolektif.

Tanpa proses ini, Durkheim memperingatkan, “manusia hanya menjadi makhluk moral karena ia hidup dalam masyarakat; jika kehidupan sosial lenyap, kehidupan moral pun akan lenyap bersamanya.” Artinya, berbagai aturan di sekolah, mulai dari jadwal pelajaran, kode etik, hingga sanksi pelanggaran, secara esensial mendidik anak untuk hidup menurut nilai kolektif, yang pada akhirnya menumbuhkan sentimen kolektif dan sikap empati.

Penguatan Pendidikan Karakter di Indonesia

Di Indonesia, komitmen terhadap pembentukan nilai moral di sekolah semakin diperkuat melalui kebijakan pendidikan karakter. Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), meluncurkan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagai gerakan nasional. Tujuannya adalah menumbuhkan siswa menjadi “individu yang berpikiran, berhati, dan berperilaku baik sesuai dengan Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa.”

Kurikulum 2013, misalnya, secara eksplisit mengintegrasikan muatan pendidikan karakter ke dalam setiap mata pelajaran, khususnya nilai-nilai Pancasila seperti gotong royong, kejujuran, toleransi, dan tanggung jawab. Implementasinya terlihat dalam berbagai aktivitas konkret di sekolah:

  • Setiap upacara bendera Senin pagi, siswa dilatih disiplin dan nasionalisme saat menyanyikan lagu kebangsaan.
  • Kegiatan gotong royong membersihkan kelas atau lingkungan sekolah menanamkan semangat kerja sama dan tanggung jawab sosial.
  • Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dan ekstrakurikuler pramuka mengajarkan kepemimpinan, sikap pantang menyerah, serta saling menghargai perbedaan latar belakang teman.

Tak kalah penting, guru dan staf sekolah berperan sebagai teladan moral. Perilaku jujur, adil, dan empati mereka menjadi standar kehidupan bersama yang diserap oleh siswa. Seluruh proses ini mengamalkan ajaran Durkheim bahwa karakter moral dibentuk dalam kelompok sosial, dalam hal ini sekolah, sehingga loyalitas terhadap norma bersama terpatri dalam diri siswa.

Kesimpulan: Sekolah sebagai Pilar Sosialisasi Moral

Nilai-nilai moral di sekolah memegang peranan krusial dalam membentuk karakter siswa agar selaras dengan kebutuhan masyarakat. Melalui lensa Durkheim, kita memahami bahwa pendidikan moral di lingkungan sekolah menumbuhkan solidaritas sosial—ikatan fundamental yang menjaga kohesi antar-individu—sehingga siswa memiliki pegangan norma yang kuat saat berinteraksi dengan dunia luar.

Di Indonesia, filosofi ini terintegrasi dalam program Penguatan Pendidikan Karakter dan implementasi nilai-nilai Pancasila di setiap jenjang pendidikan. Penanaman karakter positif di sekolah bukan sekadar tugas mata pelajaran agama atau PPK semata, melainkan sebuah proses kolektif yang melibatkan guru, teman sebaya, dan seluruh komunitas sekolah.

Kesadaran bahwa sekolah adalah ruang sosialisasi moral membantu memastikan generasi muda tumbuh sebagai warga negara yang berintegritas, disiplin, dan bertanggung jawab, mewujudkan cita-cita menjadi “manusia yang berpikiran, berhati, dan berperilaku baik” demi masa depan bangsa.

Mureks