Mantan anggota dewan kebijakan Bank of Japan (BOJ), Seiji Adachi, mengeluarkan peringatan keras pada Rabu, 24 Desember 2025, mengenai potensi pelemahan berkelanjutan mata uang Yen dan lonjakan imbal hasil obligasi pemerintah Jepang. Kondisi ini, menurut Adachi, dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap kebijakan fiskal ekspansif yang diusung oleh pemerintahan Perdana Menteri Sanae Takaichi.
Meskipun BOJ baru saja menaikkan suku bunga ke level tertinggi dalam 30 tahun menjadi 0,75% pada Jumat lalu, Yen tetap berada di bawah tekanan. Pasar menilai komentar Gubernur Kazuo Ueda setelah pertemuan tersebut mengisyaratkan bahwa bank sentral tidak akan terburu-buru untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Adachi, yang menjabat di dewan BOJ hingga Maret lalu, menegaskan bahwa pelemahan Yen saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh keraguan pasar terhadap kemampuan Jepang dalam menjaga kesehatan fiskalnya, bukan semata-mata kebijakan moneter. “Yen melemah meskipun selisih suku bunga Jepang-AS menyempit, yang berarti ini hampir tidak ada hubungannya dengan kebijakan BOJ,” ujar Adachi dalam wawancara dengan Reuters pada Senin (22/12/2025).
Ia menambahkan, investor mulai menuntut premi yang lebih tinggi atas risiko fiskal Jepang, yang tercermin dari kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Jepang (Japanese Government Bond/JGB). Imbal hasil JGB tenor 10 tahun bahkan telah menyentuh level tertinggi dalam 27 tahun sebesar 2,1% pada Senin lalu. Kenaikan ini merefleksikan prospek kenaikan suku bunga BOJ di masa depan dan rencana penerbitan utang dalam jumlah besar oleh pemerintah.
Adachi memprediksi BOJ pada akhirnya dapat menaikkan suku bunga hingga 1,5%, dengan kenaikan berikutnya diperkirakan terjadi sekitar bulan Juli tahun depan. Namun, siklus kenaikan bunga ini akan membengkakkan biaya pendanaan utang publik Jepang yang sudah sangat besar.
Kebijakan Fiskal PM Takaichi Jadi Sorotan
Kebijakan fiskal Perdana Menteri Takaichi menjadi sorotan tajam karena ukuran anggaran tahun fiskal mendatang, yang merupakan pertama kali disusun oleh Takaichi, kemungkinan akan melebihi 122 triliun yen (setara Rp 13.200 triliun). Angka ini akan mencetak rekor baru dan memerlukan penerbitan obligasi atau utang baru di atas angka tahun sebelumnya yang sebesar 28,6 triliun yen (setara Rp 3.090 triliun).
Selain itu, anggaran jumbo ini juga mencakup paket stimulus sebesar 21,3 triliun yen (setara Rp 2.300 triliun) yang didanai oleh anggaran tambahan tahun fiskal berjalan untuk meredam dampak kenaikan biaya hidup bagi rumah tangga.
“Sangat sulit untuk menghapus keraguan pasar atas keuangan Jepang setelah Takaichi dengan begitu kuat mencitrakan kebijakannya sebagai kebijakan fiskal yang proaktif,” tegas Adachi. Ia memperingatkan bahwa lonjakan imbal hasil obligasi akan menjadi risiko terbesar bagi ekonomi Jepang pada tahun 2026 mendatang.






