Nasional

Ketika Nasionalisme Tak Cukup Hanya Slogan: Urgensi Menjaga Alam sebagai Wujud Cinta Tanah Air

Nasionalisme di Indonesia seringkali terdengar lantang dalam pekikan dan simbol kebesaran negara, namun kerap absen dalam tindakan nyata sehari-hari. Kita diajari mencintai Indonesia tanpa syarat, membela harga diri bangsa dari ancaman asing, bahkan menolak bantuan luar negeri saat bencana atas nama martabat nasional. Rasa nasionalisme juga seringkali memuncak saat Tim Nasional berlaga di ajang internasional atau ketika budaya bangsa diklaim pihak lain.

Namun, di tengah gelora semangat tersebut, ada aspek krusial yang sering luput dari perhatian: sebagian dari kita justru merusak alam yang menjadi fondasi paling dasar dari keberlangsungan negara itu sendiri. Muhamad Aditya Setiawan, Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Mulawarman, menyoroti bahwa nasionalisme yang sejati seharusnya juga mampu membaca kondisi alam.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Nasionalisme yang Terhenti pada Retorika

Apa arti nasionalisme jika sungai-sungai kita berubah menjadi tempat sampah? Apa makna cinta tanah air jika hutan ditebang tanpa kendali, tambang dikeruk secara ugal-ugalan, dan alam dibiarkan rusak demi keuntungan sesaat? Di sinilah nasionalisme kita patut dipertanyakan: apakah ia benar-benar berakar pada kepedulian terhadap negeri, atau sekadar retorika kosong yang mudah diteriakkan tetapi sulit diwujudkan?

Dalam beberapa tahun terakhir, narasi nasionalisme semakin sering dikaitkan dengan semboyan “NKRI Harga Mati”. Slogan ini digaungkan sebagai penegasan komitmen terhadap keutuhan negara. Namun sayangnya, menurut Aditya Setiawan, ia kerap berhenti sebagai mantra politik tanpa daya ubah. Nasionalisme direduksi menjadi urusan simbol dan emosi, bukan etika dan tanggung jawab.

Padahal, negara tidak hanya berdiri di atas batas wilayah dan kedaulatan politik, tetapi juga pada ruang hidup yang menopang warganya. Ketika tanah kehilangan daya dukung, air tercemar, dan hutan musnah, maka yang runtuh bukan hanya ekosistem, melainkan juga fondasi sosial, ekonomi, dan bahkan politik bangsa. Nasionalisme yang gagal membaca alam sejatinya sedang menggali lubang bagi keruntuhan negara itu sendiri.

Merusak Alam, Mengkhianati Masa Depan Bangsa

Banjir, longsor, kekeringan, dan krisis ekologis yang terus berulang bukanlah sekadar bencana alam yang datang tanpa sebab. Fenomena ini merupakan akumulasi dari pilihan-pilihan manusia yang abai, rakus, dan pendek pandang. Pembalakan liar, pembukaan hutan besar-besaran, pertambangan tanpa kendali, serta budaya membuang sampah sembarangan adalah contoh nyata bagaimana nasionalisme semu dipraktikkan.

Ironisnya, banyak pelaku perusakan lingkungan justru mengaku cinta tanah air. Namun tindakan mereka justru mempercepat kerusakan ruang hidup bersama. Dalam konteks ini, nasionalisme tidak lagi datang dari luar sebagai ancaman penjajahan, tetapi tumbuh dari dalam sebagai pengkhianatan terhadap masa depan bangsa. Negara bisa bertahan dari agresi militer, tetapi sangat rapuh menghadapi kerusakan ekologis yang sistematis.

Pancasila dan Krisis Lingkungan

Indonesia memiliki dasar negara yang kaya nilai dan sangat relevan untuk menjawab krisis lingkungan: Pancasila. Ketuhanan mengajarkan manusia untuk tidak serakah dan merusak ciptaan. Kemanusiaan menuntut keadilan antar generasi. Persatuan mengandaikan ruang hidup bersama yang lestari. Kerakyatan menekankan partisipasi warga dalam menjaga kepentingan umum. Keadilan sosial mensyaratkan distribusi sumber daya yang berkelanjutan.

Sayangnya, nilai-nilai luhur ini sering berhenti sebagai hafalan dan slogan. Pancasila dijunjung tinggi dalam pidato, tetapi diabaikan dalam praktik pengelolaan alam. Ketika lingkungan rusak, yang paling terdampak justru kelompok rentan: petani, nelayan, masyarakat adat, dan generasi muda. Di sinilah terlihat jelas bahwa kegagalan menjaga alam juga merupakan kegagalan menjalankan Pancasila secara utuh.

Nasionalisme Hijau sebagai Solusi Konkret

Dari kegagalan inilah muncul kebutuhan akan redefinisi nasionalisme. Nasionalisme tidak boleh lagi dimaknai semata sebagai kesetiaan simbolik terhadap negara, tetapi sebagai komitmen nyata untuk menjaga ruang hidup bangsa. Di sinilah konsep Nasionalisme Hijau menemukan relevansinya.

Dalam kerangka ini, menanam pohon adalah tindakan patriotik. Menolak tambang yang merusak lingkungan adalah sikap nasionalis. Mengurangi sampah plastik dan menjaga kebersihan sungai adalah bentuk bela negara yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Belajar dari Akar Rumput

Nasionalisme Hijau sering kali justru dipraktikkan oleh mereka yang jarang mendapat sorotan. Warga desa yang menjaga hutan adat, relawan lingkungan yang membersihkan sungai, atau individu yang dengan sabar menanam pohon selama puluhan tahun hingga tanah gersang kembali hijau. Mereka tidak berbicara tentang nasionalisme, tetapi merealisasikannya melalui tindakan nyata.

Dalam skala kecil, tindakan-tindakan ini mungkin tampak sepele. Namun secara kolektif, inilah benteng pertahanan paling kuat bagi keberlangsungan negara. Tanpa lingkungan yang sehat, tidak ada ekonomi yang stabil, tidak ada ketahanan pangan, dan tidak ada masa depan yang layak diwariskan.

Membaca Alam sebagai Tanda Cinta Negeri

Nasionalisme sejati menuntut kemampuan membaca tanda-tanda zaman, termasuk tanda-tanda yang disampaikan alam. Banjir yang semakin sering, suhu yang kian ekstrem, dan krisis air bersih adalah pesan keras bahwa cara kita memperlakukan bumi sudah keliru. Mengabaikan pesan ini sama dengan mengabaikan masa depan bangsa.

Sudah saatnya nasionalisme tidak lagi diukur dari seberapa keras kita berteriak membela negara, tetapi dari seberapa serius kita menjaga kehidupan di dalamnya. Nasionalisme Hijau mengajak kita mencintai Indonesia tidak hanya sebagai konsep politik, tetapi sebagai ruang hidup yang nyata dan rapuh.

Indonesia tidak kekurangan slogan nasionalisme, tetapi kekurangan tindakan yang konsisten. Di tengah krisis lingkungan yang kian mengancam, nasionalisme perlu ditarik turun dari podium pidato ke tanah, sungai, dan hutan. Menjaga alam bukan agenda pinggiran, melainkan inti dari keberlangsungan negara.

Jika nasionalisme adalah cinta tanpa syarat, maka mencintai alam Indonesia adalah syarat yang tidak bisa ditawar. Sebab merawat bumi berarti merawat bangsa, dan di sanalah nasionalisme menemukan maknanya yang paling jujur.

Mureks