Internasional

Kardinal Pizzaballa: Natal di Gaza Lebih Spiritual Ketimbang Meriah, Umat Kristiani Lelah Akibat Perang

Advertisement

Umat Kristiani di Gaza merayakan Natal pada Jumat, 26 Desember 2025, di tengah kondisi pengungsian dan dugaan pelanggaran gencatan senjata oleh Israel. Sebuah gereja di bawah naungan Gereja Katolik Roma bahkan masih menjadi tempat penampungan bagi ratusan pengungsi.

Gereja Keluarga Kudus, salah satu gereja yang menampung hampir 400 pengungsi di Gaza, dikelola oleh Patriarkat Latin Yerusalem. Pada pekan ini, sebagian dari 135 umat Katolik di Gaza beribadah di gereja tersebut untuk mengikuti misa Natal. Sejak hari-hari pertama perang antara Israel dan Hamas, gereja ini telah menjadi tempat perlindungan bagi masyarakat Gaza, khususnya umat Katolik.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Selain Gereja Keluarga Kudus, umat Kristiani juga mencari perlindungan di Gereja Santo Porphyrius, yang berafiliasi dengan komunitas Ortodoks Yunani. Di Gaza, terdapat sekitar 1.100 orang yang tergabung dalam komunitas Ortodoks Yunani dan Katolik, jumlah ini kurang dari 0,05% populasi Jalur Gaza. Mayoritas dari mereka adalah anggota Ortodoks Yunani.

Natal yang Lebih Spiritual

Ibadah Misa Natal di Gereja Keluarga Kudus, Gaza, pada Minggu (21/12), dipimpin langsung oleh Kardinal Pierbattista Pizzaballa. Di hadapan jemaatnya, Pizzaballa menyatakan bahwa Natal di Gaza kali ini “lebih spiritual ketimbang meriah.”

Kunjungan ini merupakan yang pertama bagi Pizzaballa sejak gencatan senjata pada Oktober 2025 lalu. Usai memimpin ibadah Misa, Pizzaballa menyampaikan kepada wartawan bahwa Gaza berada dalam “situasi yang sangat buruk”. Ia menyesalkan kondisi tersebut, namun pada saat yang sama, ia melihat adanya keinginan warga untuk “pulih”. “Dan, bagi umat Kristiani, keinginan untuk pulih itu digambarkan melalui perayaan Natal,” ujarnya.

Secara khusus, Pizzaballa menyoroti nasib anak-anak di Gaza yang pendidikannya terbengkalai. Ia berpendapat, seharusnya anak-anak dapat merayakan Natal dengan perasaan senang. “Jumlah anak-anak di jalanan membuat saya terkejut,” lanjutnya, seraya menambahkan bahwa “mereka seharusnya bersekolah.” Kondisi ini menguatkan tekadnya untuk memprioritaskan agar kegiatan pendidikan di Gereja Keluarga Kudus dapat dimulai kembali. Ia percaya, kehadiran anak-anak yang “penuh sukacita dan daya hidup” “akan menyelamatkan komunitas kita”. “Saya percaya itu,” katanya.

Saat ditanya mengenai amatannya atas situasi terkini di Gaza, Pizzaballa tidak memungkiri masih banyak persoalan yang belum tertangani. Ia mempertanyakan kapan rekonstruksi dapat dimulai di wilayah itu. Situasi konflik juga masih ia rasakan, meskipun perang telah berakhir di Gaza. “Masalah ada di mana-mana,” katanya, merujuk pada situasi di Tepi Barat dan ketegangan antara desa-desa Palestina dan pemukiman Israel.

Advertisement

Kelelahan Mendalam Akibat Perang

Dalam situasi yang kompleks tersebut, menurut Pizzaballa, sulit untuk berbicara tentang harapan. “Tetapi,” sambungnya cepat-cepat, “adalah tugas kita untuk melakukannya selama Natal ini.” Sang kardinal kemudian menyinggung situasi “kelelahan mendalam” umat Kristiani “akibat karena perang.” Namun, lanjutnya, “Kristus sendiri memasuki sejarah melalui realitas yang kompleks. Hari ini, sekali lagi kita harus menyambut-Nya dan bekerja untuk membangun harapan.”

Sejarah Umat Kristiani di Gaza

Menurut seorang umat Kristiani di Gaza, sebagian dari mereka tiba di Gaza setelah peristiwa “Nakba” pada tahun 1948. Nakba adalah terminologi dalam bahasa Arab yang berarti bencana, yang memaksa setidaknya 700 ribu warga Palestina mengungsi dari rumah mereka selama perang Arab-Israel.

Selain peristiwa Nakba, ada pula yang menelusuri akar komunitas Kristiani di Gaza hingga ribuan tahun lalu. “Ada komunitas umat Kristiani yang telah tinggal di tanah ini sejak tahun 402, setelah mereka berpindah agama dari paganisme ke Kristen,” ujarnya.

Elias Jarada, anggota Dewan Gereja Ortodoks Arab, menambahkan bahwa keberadaan umat Kristiani di Gaza dapat ditelusuri sebelum tahun 400. Sebagian besar dari mereka, kata dia, adalah keturunan dari komunitas mula-mula tersebut.

Situasi ini juga tercermin dalam perayaan Natal yang lagi-lagi sunyi di Betlehem, dengan ungkapan keprihatinan seperti “Sulit dipercaya Natal telah tiba lagi dan genosida belum berhenti” dan “Jika Yesus lahir hari ini, ia akan berada di bawah puing-puing rumah di Gaza”.

Advertisement
Mureks