Polri mengungkap temuan mengejutkan: puluhan anak di Indonesia terpapar ideologi ekstrem kanan neo-Nazi dan supremasi ras kulit putih. Paparan ini terdeteksi melalui aktivitas mereka di ruang digital, khususnya grup daring yang mengusung kekerasan ekstrem.
Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen Syahardiantono mengonfirmasi adanya 68 anak yang terlibat, tersebar di 18 provinsi. Mereka terhubung melalui sebuah grup daring bernama True Crime Community (TCC).
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
“Penanganan 68 anak di 18 provinsi yang terpapar ideologi ekstrem melalui grup TCC, seperti neo-Nazi dan White Supremacy di mana mereka ditemukan telah menguasai berbagai senjata berbahaya dengan rencana aksi yang menyasar lingkungan sekolah serta teman sejawat mereka,” ujar Komjen Syahardiantono dalam Rilis Akhir Tahun 2025 Polri di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (30/12).
Neo-Nazi merupakan ideologi ekstrem kanan yang menghidupkan kembali paham fasis Nazisme Adolf Hitler, mengagungkan supremasi ras kulit putih, antisemitisme, dan kekerasan terhadap kelompok lain. Sementara itu, ideologi white supremacy adalah paham rasis yang meyakini keunggulan ras kulit putih dibandingkan ras atau kelompok etnis lainnya.
Grup daring TCC sebelumnya juga disebut dalam kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025. Pelaku, yang merupakan siswa sekolah tersebut, diketahui mengakses grup TCC sebelum melancarkan aksinya. Temuan ini mengindikasikan terjadinya memetic violence, yakni kekerasan berbasis peniruan atau kekerasan mimesis.
Paparan dari Gim Kekerasan dan Ruang Digital
Juru Bicara Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri AKBP Mayndra Eka Wardhana menjelaskan, paparan ideologi fasis ini tidak berdiri sendiri. Anak-anak yang terlibat juga diketahui mengakses gim daring berbasis kekerasan.
“Terpapar dari berbagai platform yang beraliran TCC serta gim daring berbasis kekerasan (gore),” kata Mayndra.
Hasil pemeriksaan Densus 88 menunjukkan, ideologi neo-Nazi dan white supremacy kerap dijadikan pembenaran atas perilaku kekerasan yang dilakukan anak-anak tersebut. “Berdasarkan interogasi yang dilakukan oleh tim, mereka mengaku bahwa paham-paham tersebut hanya sebagai legitimasi tindakan yang mereka lakukan dalam melampiaskan dendam atau ketidaksukaan, ataupun melampiaskan kekerasan,” jelasnya.
Mayndra juga mengungkapkan, anak-anak tersebut memiliki senjata yang dibeli secara daring. Namun, sebagian besar senjata yang ditemukan merupakan senjata mainan. “Senjata mainan dan pisau kebanyakan dari pembelian daring,” imbuh Mayndra.
Selain kasus paparan ideologi ekstrem kanan, Densus 88 juga mengungkap adanya jaringan radikalisme lain yang menyasar anak di bawah umur. Jaringan tersebut melibatkan lima tersangka terorisme dengan target perekrutan 110 anak di 23 provinsi.
Dalam rangkaian penindakan sepanjang tahun 2025, aparat juga berhasil menggagalkan empat rencana aksi terorisme oleh kelompok Anshor Daulah, serta 20 rencana serangan yang melibatkan anak di bawah umur. Selain itu, tujuh tersangka terorisme juga ditangkap dalam pengamanan Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru).






