Nasional

Jejak Nabila Pranoto: Arsitek Lulusan Eropa yang Kembali ke Seni Lewat Pameran di Yogya

YOGYAKARTA – Nabila Larasati Pranoto, seorang arsitek yang menempuh pendidikan di Singapore University of Technology and Design serta ETH Zurich, akhirnya kembali ke minat masa kecilnya: seni lukis. Ia menggelar pameran publik perdananya di Indonesia bertajuk “Adaptasi, Evolusi, Eksistensi” di Ruang Dalam Art House, Bantul, Yogyakarta, pada Selasa (23/12) hingga Sabtu (27/12) lalu.

Pameran ini menjadi penanda perjalanan panjang Nabila yang sebelumnya berkarier di bidang arsitektur dan keberlanjutan. “Ngelukis itu something that is very expressive gitu dan enggak perlu terlalu terlalu berfungsi, enggak terlalu cuma berkomunikasi gitu aja gitu dan aku suka banget dengan freedom-nya itu dibandingin dengan arsitektur,” ungkap Nabila saat ditemui pada pembukaan pameran, Selasa (23/12).

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Dalam pameran tersebut, Nabila tidak sendiri. Ia tampil bersama dua perupa lain, Erica Hestu Wahyuni dan Alex Danny Santoso. Latar belakang pendidikan Nabila yang cemerlang, termasuk proyek tesis “A Living Organism” yang meraih Coup de Coeur Award dari Jacques Rougerie Foundation di Prancis, menunjukkan kapasitasnya di bidang desain.

Meski demikian, minat pada seni rupa telah terlihat sejak Nabila masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun, pilihan untuk menekuni seni secara penuh bukanlah jalan yang mudah, terutama dengan pertimbangan biaya hidup dan praktik seni yang tinggi di negara maju.

“Intinya sebagai orang tua kita mendukung tapi kita memberikan nasihat juga bahwa dia juga harus menghadapi realitas,” ujar Pranoto, ayah Nabila, saat diwawancarai tim Pandangan Jogja, Jumat (26/12).

Pranoto menjelaskan, pertimbangan ekonomi menjadi perhatian utama keluarga. “Untuk beli cat yang bagus itu kan mahal, beli canvas yang bagus mahal dia tinggal di negara yang maju mahal, jadi dia harus bisa hidup sendiri, harus punya pekerjaan utama,” tambahnya.

Dari diskusi keluarga tersebut, pendidikan formal di bidang arsitektur kemudian dijadikan pijakan utama. “Sebagai kompromi, karena kan tadinya mau masuk art school, kita bilang waduh terlalu berbahaya if you don’t make it, then you don’t live well kan, makanya sebagai jalan tengahnya oke, arsitek,” kenang Pranoto.

Nabila menuntaskan pendidikan hingga tingkat magister dan sempat berkarya di sektor arsitektur serta sustainability, termasuk di WOHA Architects. Namun, dunia kerja yang penuh presisi dan aturan membuat ruang ekspresi seninya tetap dicari melalui melukis.

“Jadi itu kayak kayak escape-nya aku dari kerjaan sehari-hari aku. Menurutku semua seni itu harus ada human story-nya, Itu yang bikin itu interesting gitu loh,” kata Nabila.

Hal ini juga dibenarkan oleh ayahnya. “Tapi rupanya jiwa seninya masih tinggi, makanya dia terus melanjutkan pencariannya tapi dia tetap kerja sebagai corporate sustainability person di Switzerland sana,” ungkap Pranoto.

Pemilihan Yogyakarta sebagai lokasi pameran perdana bukan tanpa alasan. Kota ini diakui sebagai pusat seni di Indonesia dan kawasan regional. “Karena Yogyakarta ini kan the art capital of not only Indonesia kan, South East Asia kan, semua kiblatnya disini event di Singapura, art dealer-art dealer Singapura kan nyarinya ke Yogyakarta, bukan ke Jakarta Yogyakarta itu sangat highly appreciated, bukan Bali, tapi Yogyakarta,” jelas Pranoto.

Pameran perdana di Yogyakarta ini juga membuka peluang lanjutan bagi Nabila. Pranoto menyebut putrinya kembali mendapat undangan untuk pameran di kota yang sama. “Dia diundang ikut pameran ini, me-display karyanya untuk nanti hari Kartini, itu ada pameran Women Painting Exhibition yang diundang kemarin,” pungkasnya.

Bagi Nabila, pameran di Yogyakarta ini menjadi titik awal perkenalan karyanya kepada publik di Indonesia, sekaligus bagian dari perjalanan panjangnya dalam menyatukan arsitektur, keberlanjutan, dan seni rupa.

Mureks