Nasional

Fenomena Dualitas Identitas Digital Gen Z: Antara Panggung Depan Sempurna dan Ruang Belakang Jujur

Di balik layar gawai, jutaan anak muda Generasi Z (Gen Z) tengah menjalani sebuah pertunjukan identitas yang kompleks. Pada satu sisi, mereka menampilkan citra ‘hidup sempurna’ di akun utama media sosial. Namun, di sisi lain, kerentanan dan kejujuran justru tumpah ruah di ‘second account’ atau akun kedua yang lebih privat.

Fenomena ini bukan sekadar tren digital biasa. Sebuah potret estetik dengan caption inspiratif di akun utama Instagram, yang menampilkan senyum lebar di kafe minimalis, bisa diikuti sepuluh menit kemudian oleh unggahan foto hitam-putih tanpa filter di akun kedua. Foto tersebut hanya memperlihatkan bantal basah air mata dengan satu kalimat singkat: “Capek banget, pengen menyerah.”

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

Dualitas ini mencerminkan perjuangan Gen Z dalam pencarian jati diri, terjebak antara sosok ideal yang dicintai algoritma dan sosok rapuh yang mencari ruang aman.

Psikologi di Balik Dua Identitas Digital

Ketegangan antara dua identitas digital ini merupakan alarm psikologis yang nyata. Dalam psikologi pengembangan kepribadian, fenomena ini sangat selaras dengan pemikiran Carl Rogers mengenai konsep diri atau self-concept.

Rogers (1951) menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki ideal self, yaitu sosok sempurna yang didambakan, dan organismic experience, yaitu pengalaman nyata yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Media sosial memperlebar jarak antara keduanya dengan menciptakan ruang di mana individu dapat mengkurasi versi diri yang sangat selektif.

Ketika seseorang terlalu sibuk memoles akun utama agar terlihat sempurna, ia sedang mengalami apa yang disebut Rogers sebagai incongruence atau ketidakselarasan antara pengalaman aktual dengan citra diri yang diproyeksikan. Kondisi ini diibaratkan seperti memakai sepatu yang ukurannya terlalu kecil, dipaksakan demi terlihat bagus dari luar, namun sebenarnya menyakitkan untuk melangkah.

Penting untuk dipahami, baik akun utama maupun second account sama-sama merupakan bagian dari proses negosiasi identitas. Akun utama bukan semata-mata ‘topeng palsu’, dan akun kedua pun tidak otomatis menjadi ‘diri sejati’. Keduanya adalah ruang berbeda tempat individu mengekspresikan aspek-aspek kepribadian yang memang ada, namun disesuaikan dengan konteks dan audiens yang berbeda.

Panggung Depan dan Ruang Belakang Digital

Lantas, mengapa kerentanan lebih nyaman diekspresikan di akun rahasia? Jawabannya ditemukan dalam konsep yang diperkenalkan oleh Erving Goffman dalam Teori Dramaturginya mengenai front stage dan backstage.

Goffman (1922) menjelaskan bahwa dalam kehidupan sosial, individu melakukan impression management atau pengelolaan kesan. Akun utama adalah panggung depan atau front stage, tempat menampilkan performa yang sesuai dengan ekspektasi sosial dan norma yang berlaku. Sementara itu, second account menjadi semacam backstage atau ruang belakang panggung, tempat individu merasa lebih aman untuk melepas ‘kostum’ dan menunjukkan sisi yang tidak dipoles.

Fenomena ini juga terkait dengan apa yang disebut Danah Boyd (2007) sebagai context collapse atau keruntuhan konteks. Situasi ini terjadi ketika berbagai kelompok audiens dengan konteks berbeda bertemu dalam satu ruang digital. Pengguna media sosial dituntut untuk mengelola identitas mereka agar dapat diterima oleh berbagai kelompok tersebut.

Di akun utama, individu diikuti oleh keluarga, dosen, teman kuliah, kenalan profesional, dan bahkan orang asing, yang mendorong kebutuhan untuk menjaga citra tertentu. Second account dengan pengikut yang terbatas dan terpilih memberikan audience segregation atau pemisahan audiens. Hal ini memungkinkan individu lebih selektif dalam mengekspresikan diri tanpa takut dinilai oleh kelompok yang tidak dikehendaki.

Namun, jika kesenjangan antara kedua ruang ini terlalu besar dan berlangsung terus-menerus, hal ini bisa menimbulkan self-alienation atau keterasingan dari diri sendiri. Individu mulai kehilangan pegangan tentang siapa diri mereka yang sebenarnya.

Jebakan Validasi dan Kesenjangan Diri Kronis

Jebakan validasi juga memainkan peran besar dalam dinamika identitas digital ini. Banyak Gen Z terjebak dalam conditional positive regard atau penerimaan yang bersyarat. Mereka merasa baru akan ‘diterima’ atau ‘berharga’ jika memiliki prestasi, penampilan, atau gaya hidup yang menawan di mata orang lain.

Angka likes, jumlah followers, dan komentar positif menjadi standar keberhargaan diri. Padahal, menurut Rogers, kebutuhan mendasar manusia adalah unconditional positive regard, yaitu penerimaan diri tanpa syarat dan pengakuan bahwa individu berharga apa adanya. Ketika validasi tanpa syarat tidak didapatkan di panggung utama yang penuh persaingan perhatian, pelarian ke akun kedua menjadi pilihan, dengan harapan mendapatkan validasi yang lebih jujur dari segelintir teman dekat.

Namun, masalah sebenarnya bukan terletak pada jumlah akun yang dimiliki, melainkan pada chronic self-discrepancy atau kesenjangan diri yang kronis. Ketika jarak antara ideal self dan organismic experience terlalu lebar dan menimbulkan kecemasan, rasa bersalah, atau bahkan depresi yang persisten, di situlah dualitas ini berubah dari strategi adaptif menjadi pola maladaptif yang merugikan kesehatan mental.

Menuju Keautentikan Diri

Sebagai bagian dari Gen Z, penting untuk menyadari bahwa kesempurnaan di layar hanyalah ilusi yang melelahkan. Tidak perlu merasa bersalah karena berupaya menampilkan citra diri yang sebenarnya di hadapan orang lain.

Keautentikan dan keberanian untuk menjadi diri sendiri adalah kunci utama kesehatan mental. Namun, keautentikan bukan berarti harus mengumbar semua aspek kehidupan pribadi tanpa filter. Integrasi kepribadian dimulai saat individu mampu mengurangi kesenjangan yang menyakitkan antara berbagai versi diri yang ditampilkan, bukan dengan menghapus semua perbedaan kontekstual yang memang wajar ada.

Pada akhirnya, media sosial hanyalah panggung, bukan cermin yang menentukan harga diri. Terus-menerus memoles ‘topeng’ digital hanya akan membuat individu asing dengan wajah mereka sendiri. Keberanian untuk sedikit lebih jujur adalah langkah awal.

Kematangan kepribadian tidak tumbuh dari seberapa banyak orang yang menyukai versi ‘ideal’, melainkan dari seberapa berani mencintai versi ‘asli’ diri, bahkan yang tidak estetik sekalipun. Di dunia yang menuntut kesempurnaan tanpa henti, menjadi otentik adalah sebuah tindakan keberanian yang paling membebaskan.

Mureks