Ketika semarak Natal dan Tahun Baru menyelimuti, jutaan warga Indonesia menikmati momen istimewa untuk berkumpul bersama keluarga dan berlibur. Namun, di balik euforia perayaan tersebut, sekelompok individu justru bersiap menghadapi lonjakan tugas yang tak terhindarkan: para tenaga medis. Bagi dokter, perawat, bidan, dan seluruh staf pendukung kesehatan, periode ini bukan waktu untuk berlibur, melainkan masa siaga penuh di garis depan pelayanan.
Pemandangan kontras terlihat jelas di bangsal rumah sakit pada malam pergantian tahun. Saat dentuman kembang api memecah kesunyian di luar, seorang perawat mungkin tengah memantau denyut jantung pasien kritis, memastikan setiap detak kehidupan terus berlanjut melampaui batas waktu.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Di ruang gawat darurat, seorang dokter jaga harus mengesampingkan pesan ucapan selamat dari orang terkasih. Fokusnya tertuju pada penanganan korban kecelakaan lalu lintas yang tiba akibat tingginya arus mudik. Ini adalah realitas yang berulang setiap tahun, sebuah pengorbanan momen pribadi demi keselamatan publik.
Para tenaga medis menjadi benteng terdepan yang memastikan pelayanan kesehatan esensial tidak pernah terputus. Dedikasi luar biasa ini, karena konsistensinya, seringkali dianggap remeh, seolah sudah menjadi kodratnya.
Dilema Etika dan Tuntutan Hukum di Balik Dedikasi
Kewajiban para tenaga medis untuk tetap bekerja saat masyarakat berlibur bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan terikat oleh janji luhur dan landasan hukum negara. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Pasal 4 ayat (1), secara eksplisit menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan berkesinambungan.
Prinsipnya jelas: kesehatan dan keselamatan tidak mengenal hari libur. Pelayanan harus terus berjalan, dan tenaga medis adalah instrumen utama pelaksanaannya. Selain itu, profesi ini juga dipegang teguh oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).
Pasal 14 KODEKI mewajibkan dokter menggunakan segala ilmu dan keterampilannya demi kepentingan pasien, terutama dalam situasi gawat darurat. Perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru), dengan segala risiko peningkatan mobilitas dan potensi kecelakaan, secara otomatis menciptakan “situasi gawat darurat” musiman. Tugas ini, baik di mata hukum maupun etika, merupakan panggilan moral yang tidak dapat ditunda.
Biaya Tersembunyi: Kesehatan Mental dan Risiko Kesalahan Medis
Pengorbanan yang diberikan para tenaga medis selama periode Nataru jauh melampaui sekadar upah lembur. Mereka harus merelakan kesehatan mental dan kebahagiaan personal, sebuah harta yang tak ternilai.
Sebagai contoh, seorang perawat muda mungkin terpaksa mematikan panggilan video dari rumah, di mana ia bisa melihat pohon Natal yang dihiasnya dan mendengar rengekan anaknya yang bingung mengapa ibunya tidak hadir. Pilihan semacam ini bukan hanya menyakitkan, tetapi juga mengikis jiwa.
Studi-studi global tentang kesehatan pekerja, termasuk yang sering dikutip dalam jurnal-jurnal prestisius seperti International Journal of Environmental Research and Public Health, berulang kali memperingatkan tentang biaya emosional dari jam kerja terus-menerus tanpa istirahat memadai. Kondisi ini memicu fenomena burnout, yaitu kelelahan emosional dan fisik kronis yang membakar habis semangat, serta meningkatkan stres dan kecemasan hingga batas tidak sehat.
Lingkaran kepedihan ini tidak berhenti pada diri mereka. Penelitian oleh Pramestasari et al. (2025) menjelaskan bahwa burnout pada dokter memiliki hubungan dengan patient safety atau potensi kesalahan medis. Tenaga medis yang mengalami kelelahan signifikan lebih rentan terhadap kekeliruan dan kesalahan klinis.
Dengan demikian, saat mereka mengorbankan waktu libur, sesungguhnya mereka mengambil risiko ganda yang kejam. Mereka merelakan ketenangan jiwa demi keselamatan pasien, namun di sisi lain, kelelahan mereka justru dapat mengancam keselamatan pasien yang sedang mereka rawat. Mereka berjuang melawan penyakit, tetapi secara diam-diam juga menjadi korban dalam peperangan melawan kelelahan sistemik.
Utang Apresiasi dan Tuntutan Keadilan
Apresiasi terhadap dedikasi luar biasa ini tidak seharusnya berhenti pada ucapan “terima kasih” yang hampa. Keadilan yang setara dari sistem harus mengimbangi pengorbanan mereka.
Pertama, manajemen fasilitas kesehatan dan pemerintah wajib menjamin kompensasi finansial yang layak. Sesuai Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kerja pada hari libur resmi harus dihitung dengan upah lembur khusus. Ini merupakan pengakuan konkret atas waktu dan risiko yang mereka ambil.
Kedua, perlu ada jaminan cuti pengganti yang fleksibel. Tenaga medis harus diizinkan menikmati momen rehat bersama keluarga, meskipun bukan pada tanggal 25 Desember atau 1 Januari, tanpa mengurangi hak cuti tahunan mereka.
Kisah Natal dan Tahun Baru di garis depan fasilitas kesehatan adalah cerita tentang heroisme tanpa seragam dan tanpa medali. Mereka adalah penjaga malam yang memastikan masyarakat bisa tidur nyenyak dan merayakan dengan aman.
Kewajiban masyarakat bukan hanya menikmati liburan, tetapi juga turut meminimalkan risiko yang memberatkan tugas mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan berhati-hati di jalan dan tidak membebani unit gawat darurat dengan keluhan non-esensial.
Mari kita akui dan hormati pengorbanan mereka. Mari kita tuntut keadilan bagi mereka yang setiap tahunnya merelakan kehangatan keluarga demi menjaga denyut kehidupan bangsa ini. Sebab, di balik setiap tawa perayaan, ada seorang tenaga medis yang berjaga, mendefinisikan ulang makna sesungguhnya dari kata dedikasi.






