Tren

Bukan Sekadar Ambisi, Resolusi Tahun Baru Adalah Bentuk Perhatian Diri yang Realistis

Pergantian tahun kerap hadir sebagai jeda singkat di tengah perjalanan panjang kehidupan. Momen ini bukan secara ajaib mengubah identitas seseorang, melainkan memberikan ruang berharga untuk berhenti sejenak, menengok ke belakang, dan menata langkah ke depan. Di sinilah resolusi tahun baru menemukan makna sejatinya, bukan sebagai daftar ambisi yang muluk, melainkan sebagai kompas kecil yang memandu kita tetap berada di jalur yang diinginkan.

Membuat resolusi sejatinya bukan tentang menargetkan kehidupan yang sempurna. Sebaliknya, ia lahir dari kesadaran bahwa manusia kerap melenceng, merasa lelah, dan dilanda keraguan. Resolusi membantu memberi nama pada harapan-harapan sederhana, seperti keinginan untuk hidup lebih sehat, bekerja lebih jujur pada diri sendiri, meluangkan waktu lebih banyak untuk orang-orang terdekat, atau sekadar belajar berhenti sejenak tanpa rasa bersalah.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Dalam proses merumuskan resolusi, terdapat upaya berdamai dengan kegagalan di tahun sebelumnya. Apa yang belum tercapai tidak selalu berarti sia-sia; mungkin saja hal itu belum menemukan waktu yang tepat. Dengan menuliskannya kembali, kita sedang menegaskan pada diri sendiri bahwa harapan masih layak diperjuangkan, meskipun secara perlahan dan bertahap.

Yang terpenting, resolusi memberikan rasa kendali di tengah dunia yang serba tak pasti. Ketika banyak hal berada di luar jangkauan, memilih satu atau dua niat yang dapat diupayakan setiap hari menjadi bentuk keberanian kecil. Ini bukan untuk mengejar validasi dari orang lain, melainkan untuk memastikan bahwa hidup tetap kita jalani dengan penuh kesadaran.

Pentingnya Resolusi Realistis dan Berfokus pada Proses

Psikolog klinis dari Personal Growth, Phoebe Ramadina M.Psi, Psikolog, menegaskan bahwa dalam membuat resolusi tahun baru, penting untuk memandangnya sebagai bentuk menyayangi diri sendiri yang dimulai dengan langkah realistis. Pendekatan ini bertujuan agar resolusi dapat dijalankan dengan perasaan yang lebih ringan, bukan sebagai hukuman atas kekurangan diri.

“Mulailah dari langkah kecil yang realistis, fokus pada proses, dan beri apresiasi pada setiap kemajuan sekecil apa pun,” ujar Phoebe, Senin (29/12).

Ia menjelaskan, dalam menetapkan resolusi, penting untuk bersikap realistis dan menyelaraskannya dengan nilai-nilai hidup pribadi. Menurutnya, kebanyakan orang cenderung menetapkan resolusi yang terlalu umum, terlalu tinggi, atau terlalu banyak dalam satu waktu, sehingga terasa berat untuk dijalankan sejak awal.

Phoebe juga menyarankan agar tidak membandingkan pencapaian diri dengan orang lain. Setiap individu memiliki ritme dan tantangan hidup yang berbeda, sehingga perbandingan hanya akan menghambat terciptanya rencana masa depan yang sehat.

“Resolusi yang sehat sebaiknya spesifik, jelas, bisa diukur, dan dapat dilakukan secara bertahap. Resolusi juga perlu relevan dengan kebutuhan emosional dan situasi hidup kita sekarang, bukan sekadar mengikuti standar orang lain,” kata psikolog lulusan Universitas Indonesia ini.

Dengan resolusi yang jelas dan terukur, lanjut Phoebe, otak akan lebih mudah membangun kebiasaan baru. Hal ini karena target yang ditetapkan terasa mungkin untuk dicapai, bukan justru menakutkan.

Mureks