Nasional

Bencana Hibrida dan Krisis Kepemimpinan: Ketika Negara Kehilangan Empati dan Profesionalisme

Rentetan banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir tahun 2025 bukan lagi sekadar bencana alam. Menurut Dr. Riant Nugroho, Ketua Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia, bencana ini merupakan fenomena hibrida, yakni perpaduan antara kekuatan alam dan kesembronoan serta keserakahan manusia.

Faktor-faktor manusia yang berkontribusi pada bencana hibrida ini sangat kompleks. Mulai dari pemberian izin investasi yang disinyalir bersimbah kolusi, pembalakan hutan secara brutal, alih fungsi lahan atas nama pertumbuhan ekonomi, hingga pengabaian tata ruang dan pembiaran pada tingkat kelembagaan yang berlangsung sangat panjang.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

Dampak dari bencana ini tidak hanya terbatas pada kerugian material. Celios (Center of Economics and Law Studies) menaksir kerugian ekonomi mencapai “Rp 68,67 triliun”, mencakup kerusakan rumah, jembatan, jalan, lahan pertanian, serta hilangnya pendapatan keluarga. Namun, yang tidak terhitung adalah runtuhnya kepercayaan publik kepada negara.

Kegaduhan Pejabat dan Hilangnya Empati

Selama berminggu-minggu pascabencana, masyarakat justru disuguhi kegaduhan pernyataan para pejabat. Mereka saling klarifikasi, saling menyelamatkan diri, bahkan memproduksi istilah-istilah yang lebih terdengar sebagai defensive narrative ketimbang empati. Situasi ini bahkan membuat Presiden merasa perlu meneduhkan kegaduhan yang tidak perlu, meskipun terkadang ada peristilahan yang justru memperkuatnya.

Dr. Riant Nugroho menyarankan agar pejabat pemerintah sebaiknya “berhenti berbicara” dan “mulailah berkomunikasi” kepada rakyat. Berbicara diartikan sebagai menyampaikan apa yang ada di kepala saja, tanpa empati, dan cenderung hanya ingin dipatuhi. Sementara itu, berkomunikasi menuntut adanya empati yang mendalam dan sejati, kesadaran situasional, serta kepekaan moral. Komunikasi semacam ini hanya dapat dilakukan oleh pribadi profesional.

Krisis Profesionalisme dan Peter Principle

Pondasi profesionalisme inilah yang dinilai hilang dalam birokrasi saat ini. Pribadi profesional didefinisikan sebagai sosok yang Cerdas (smart), Cerdik (ingenuity), Terampil (skillful), dan Berintegritas. Integritas berarti tidak melakukan apa yang ia tahu salah, sejalan dengan prinsip Hippocrates (±460–370 SM) “primum non nocere“.

Dalam pandangan Laurence J. Peter, mereka adalah “the competent, bahkan the super-competent“. Namun, masalah muncul ketika organisasi negara justru dipenuhi oleh “the incompetent“, atau oleh “the competent” yang dipromosikan melampaui batas kompetensinya. Fenomena ini dikenal sebagai Peter Principle (1969). Ciri khas dari pribadi profesional adalah mereka yang bertanggung jawab, bukan “tanggung-menjawab”, apalagi menjawab secara tanggung-tanggung.

Reduksi Kepemimpinan Menjadi Loyalitas Politik

Pejabat pemerintah sejatinya adalah profesional yang diberi mandat politik secara sah. Namun, ketika pejabat publik lebih merasa sebagai representasi partai daripada pelayan negara, yang terjadi adalah reduksi kepemimpinan menjadi loyalitas politik. Akibatnya, pemerintahan kehilangan peran sebagai manager of the public organization dan hanya menyisakan operator of power yang penuh ego.

Untuk menjadi negara yang hebat dan menang, Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pejabat pemerintah. Diperlukan para Pemimpin Negara atau the statesman, yaitu mereka yang berada di puncak pemerintahan dan mampu memanajemeni organisasi bernama Republik Indonesia. Puncaknya adalah Bapak Bangsa, pemimpin yang “memberikan dirinya bagi bangsanya, bahkan setelah ia tidak lagi menjabat.”

Sayangnya, sulit menunjuk contoh sempurna Bapak Bangsa di Indonesia modern. Bahkan Soekarno dan Soeharto, dengan seluruh jasa historisnya, meninggalkan jejak yang problematik dalam jangka panjang. Indonesia kini kian kehilangan figur pendamping bangsa, yang kadang justru menjadi beban bangsa.

Pemerintahan Amatir dan Drama Narasi

“Penyakit” yang melanda Indonesia saat ini adalah hadirnya profesional semu, khususnya dalam kriteria bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan satir wartawan senior Parakitri Tahi Simbolon dalam bukunya Menjadi Indonesia (2006) yang menyatakan bahwa Indonesia “tidak pernah berpeluang mengembangkan tradisi pemerintahan yang bertanggung jawab, karena sejak awal rakyat hanya diajar melihat kekuasaan sebagai alat penindasan, bukan amanat politik.” (hlm. 294).

Inilah akar dari kegaduhan yang terjadi, di mana bangsa ini lebih piawai memproduksi drama ketimbang kinerja, lebih sibuk mencipta narasi—termasuk melalui media sosial—ketimbang prestasi sejati. Performativity menggantikan performance. David M. Cohen menyebutnya sebagai “the Amateur Government (1998)”, meskipun Dr. Riant Nugroho lebih memilih istilah government by amateur.

Jalan Panjang Menuju Bangsa Berhasil

Untuk menjadi bangsa yang berhasil dan dihormati, Indonesia membutuhkan rantai kepemimpinan yang utuh. Rantai ini dimulai dari Pribadi Profesional, menjadi Pemimpin Pemerintahan, kemudian puncaknya menjadi Pemimpin Negara, dan pada masa akhir menjadi Bapak Bangsa. Istilah “Bapak” di sini bermakna laki-laki dan perempuan, serta tidak serta merta berkenaan dengan paternalisme apalagi feodalisme.

Namun, yang banyak ditemui saat ini adalah para petualang kekuasaan yang dikemas dengan fantasi, tampil di hadapan rakyat yang kesulitan, dan justru mencurigai rakyat ketika bersuara. Akibatnya, rakyat tergerus kepercayaannya dan merasa hadir di tengah kesendirian.

Maka, jika hendak mawas diri, bencana yang dialami bukan hanya banjir dan longsor sebagai bencana hibrida. Ini adalah bencana kepemimpinan. Sinyal keras ini menuntut setiap pemimpin Indonesia untuk terus belajar dan melecut diri dengan keras, sembari menundukkan diri dalam-dalam ke arah bawah.

Mureks