Jumat, 26 Desember 2025, menandai 21 tahun berlalu sejak salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah modern mengguncang Aceh. Pada Minggu pagi, 26 Desember 2004, tak ada yang menyangka bahwa hari yang tenang itu akan berubah menjadi petaka yang merenggut ratusan ribu nyawa dan mengubah lanskap Bumi Serambi Mekkah selamanya.
Pukul 07.59 WIB, bumi tiba-tiba berguncang hebat. Gempa bumi dahsyat berpusat di Samudra Hindia, tepatnya di pantai barat Sumatra, Indonesia, mengguncang Aceh dan terasa hingga Medan. Bangunan-bangunan bergoyang, jalanan terbelah, dan pohon serta tiang listrik roboh dalam hitungan detik. Warga berhamburan mencari perlindungan, mengira bencana telah usai setelah guncangan mereda.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Namun, ketenangan itu hanya sesaat. Tak lama berselang, air laut di pesisir Aceh surut drastis, sebuah fenomena yang saat itu belum dipahami sebagai tanda bahaya. Minimnya pengetahuan kebencanaan dan ketiadaan sistem peringatan dini tsunami membuat banyak warga menganggap surutnya air laut sebagai peristiwa biasa. Padahal, gelombang raksasa tengah mengintai.
Benar saja, dari kejauhan, gelombang laut setinggi pohon kelapa, bahkan lebih, muncul dan bergerak cepat menuju daratan. Tanpa ada waktu untuk menyelamatkan diri, gelombang tsunami menyapu pesisir, menenggelamkan warga dan meratakan segala yang dilaluinya. Rumah, bangunan, kendaraan, dan kehidupan yang telah dibangun bertahun-tahun lenyap dalam sekejap, menyisakan puing-puing dan kehancuran total.
Dampak Global dan Bantuan Kemanusiaan Terbesar
Dunia terperangah melihat kedahsyatan bencana pagi itu. Gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter, yang menurut United States Geological Survey (USGS) menjadi salah satu gempa terbesar yang pernah tercatat, memicu tsunami yang menghantam banyak negara. Selain Aceh sebagai wilayah terdampak paling parah, gelombang mematikan ini juga menerjang Thailand, Sri Lanka, India, Myanmar, hingga Pantai Timur Afrika. Di beberapa titik di Aceh, tinggi gelombang tsunami bahkan mencapai 30 meter.
Pasca-bencana, mata dunia tertuju pada Aceh. Ucapan duka dan bantuan kemanusiaan mengalir dari berbagai penjuru. Tercatat, 56 negara mengirimkan bantuan, menjadikannya Operasi Militer Non-Perang Terbesar pada Abad ke-21. Amerika Serikat menjadi negara dengan kontribusi terbesar, mengerahkan 14 ribu personel militer, 57 helikopter, dan 14 pesawat untuk misi kemanusiaan. Sejumlah negara lain juga mengirimkan pasukan, tenaga medis, serta bantuan logistik. Isu mengenai Israel sebagai salah satu donatur sempat beredar, namun Kementerian Luar Negeri Indonesia segera membantahnya.
Indonesia yang Gagap dan Konflik Bersenjata
Di tengah skala bencana yang masif, Indonesia saat itu tergolong gagap dalam penanganannya. Belum adanya Undang-Undang Penanggulangan Bencana membuat koordinasi dan penanganan berjalan terbatas. Kondisi semakin sulit karena Aceh masih berada dalam konflik bersenjata, yang menyebabkan wilayah tersebut relatif tertutup dan menyulitkan distribusi bantuan.
Beberapa bulan kemudian, skala tragedi itu baru benar-benar terpetakan. Sekitar 280 ribu orang di berbagai negara tewas akibat gempa dan tsunami Samudra Hindia. Khusus di Aceh, data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat korban jiwa mencapai 130 ribu orang, sementara sekitar 500 ribu penduduk kehilangan tempat tinggal. Kerugian ekonomi ditaksir mencapai Rp41,4 triliun.
Titik Balik Mitigasi Bencana Nasional
Pemulihan pasca-tsunami Aceh adalah perjalanan panjang. Infrastruktur harus dibangun kembali dari nol, rumah-rumah diganti, serta kehidupan sosial dan ekonomi perlahan ditata ulang. Proses ini memakan waktu bertahun-tahun, namun dari tragedi tersebut lahir kesadaran baru.
Tsunami Aceh menjadi titik balik pemahaman kebencanaan di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat mulai menyadari bahwa Indonesia berada di wilayah rawan bencana dan tak bisa mengabaikan mitigasi. Pada 2005, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Penanggulangan Bencana dan membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Langkah ini menjadi fondasi penting dalam upaya menghadapi risiko bencana di masa depan, mengajarkan pelajaran mahal bahwa hidup di negeri cincin api berarti belajar berdamai dengan alam.






