Internasional

Utang Pemerintah Indonesia Tembus Rp 9.408 Triliun per Kuartal III 2025, Kemenkeu Janji Transparansi

Advertisement

Utang pemerintah Indonesia menembus angka Rp 9.000 triliun pada tahun 2025, mencapai Rp 9.408,64 triliun per akhir Kuartal III. Angka ini setara dengan 40,30% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Kenaikan signifikan ini terjadi di tengah upaya Kementerian Keuangan untuk kembali meningkatkan transparansi data utang kepada publik.

Penelusuran data utang pemerintah sempat mengalami kesulitan pada awal tahun 2025. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghentikan penerbitan buku APBN Kinerja dan Fakta atau APBN Kita yang sebelumnya rutin dipublikasikan sebagai bentuk transparansi pengelolaan anggaran negara.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Buku APBN Kita terakhir yang dapat diakses secara rinci di situs Kemenkeu adalah edisi Februari 2025. Data tersebut menunjukkan posisi utang per 31 Januari 2025 sudah mencapai Rp 8.909,13 triliun, atau setara 39,6% dari PDB.

Komitmen Transparansi di Bawah Menteri Keuangan Baru

Perubahan signifikan terjadi setelah Purbaya Yudhi Sadewa ditunjuk sebagai Menteri Keuangan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 8 September 2025. Purbaya segera meminta jajarannya untuk kembali menerbitkan buku APBN Kita secara rutin dan transparan setiap bulannya, termasuk data utang.

“Biar Anda bisa marah-marahin saya kalau utangnya kegedean. itu memang perlu diketahui publik supaya kita lebih transparan,” ujar Purbaya saat berdiskusi dengan wartawan di kantornya, Jakarta, pada 26 September 2025.

Data utang pemerintah akhirnya kembali disampaikan ke publik mulai Oktober 2025. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, dalam taklimat media di Bogor, mengungkapkan posisi utang pemerintah pusat per akhir Kuartal II-2025 (Juni) berada di level Rp 9.138,05 triliun.

Angka ini sedikit menurun dibanding posisi Mei 2025 yang sebesar Rp 9.177,48 triliun. Suminto menambahkan, nominal utang per akhir Juni 2025 itu setara dengan 39,86% terhadap PDB per Kuartal II-2025.

“Jadi per akhir Juni 2025 sebesar 39,86% debt to GDP ratio nya, satu level yang cukup rendah, cukup moderate dibanding banyak negara,” kata Suminto saat itu.

Rincian Komposisi Utang dan Perubahan Periode Pelaporan

Komposisi utang per akhir Kuartal II-2025 terdiri dari pinjaman senilai Rp 1.157,18 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 7.980,87 triliun. Pinjaman luar negeri tercatat Rp 1.108,17 triliun, sementara pinjaman dalam negeri Rp 49 triliun. Penerbitan SBN berdenominasi rupiah mendominasi dengan nilai Rp 6.484,12 triliun, sedangkan SBN valas sebesar Rp 1.496,75 triliun.

Suminto juga menjelaskan bahwa ke depan, penerbitan data utang ke publik akan dilakukan per kuartal, tidak lagi per bulan seperti sebelum tahun 2025. Keputusan ini diambil untuk memastikan statistik utang sesuai dengan ukuran PDB nasional yang dirilis setiap kuartal oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

“Supaya statistiknya lebih kredibel, agar rasio itu tidak berdasarkan asumsi, tapi berdasarkan realisasi nanti debt to GDP ratio setiap 3 bulan,” ungkap Suminto.

Advertisement

Janji tersebut ditepati. Pada akhir November 2025, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menampilkan posisi utang pemerintah di situs webnya, meskipun dengan informasi yang lebih terbatas dibandingkan buku APBN Kita.

Posisi utang pemerintah per akhir Kuartal III-2025 tercatat senilai Rp 9.408,64 triliun. Angka ini naik sekitar 2,95% dibandingkan posisi akhir Kuartal II-2025 yang sebesar Rp 9.138,05 triliun. Rasio utang terhadap PDB juga meningkat menjadi 40,30% dari 39,86% pada kuartal sebelumnya.

Komposisi utang Kuartal III-2025 terdiri dari SBN sebesar Rp 8.187,55 triliun dan pinjaman Rp 1.221,09 triliun. SBN melonjak sekitar 2,59% dari kuartal sebelumnya, sementara pinjaman naik sekitar 6,45%.

Strategi Pengelolaan Utang dan Optimisme Penerimaan Negara

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meminta semua pihak untuk tidak menjadikan nominal utang pemerintah sebagai sentimen negatif bagi perekonomian. Ia memastikan bahwa di bawah kepemimpinannya, penerbitan utang akan terus diredam melalui strategi peningkatan penerimaan negara yang lebih besar dan optimal.

“Utang jangan dijadikan sentimen negatif untuk perekonomian kita. Dan kita akan coba kurangi penerbitan utang seoptimal mungkin. Kalaupun saya utang harus digunakan, jangan sampai ada kebocoran,” papar Purbaya.

Purbaya juga menjamin akan merealokasi anggaran kementerian dan lembaga (K/L) yang serapannya rendah. Anggaran tersebut akan dialihkan ke pos lain, termasuk untuk mengurangi atau membayar cicilan utang.

Khusus untuk tahun 2026, Purbaya mengklaim telah menyiapkan “ramuan khusus” agar kebutuhan pembangunan melalui APBN tidak lagi terlalu bergantung pada utang. Ia berkeyakinan bahwa dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang cepat, penerimaan negara dari pajak akan otomatis meningkat dan menjadi andalan utama pembiayaan belanja negara.

“Kalau saya lihat ke depan, harusnya kita enggak akan terpaksa menambahkan utang lebih, karena saya akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat, sehingga dengan kondisi APBN yang sama, saya akan mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan pendapatan pajak yang lebih tinggi,” tegas Purbaya di DPR.

Purbaya optimistis total pendapatan negara akan menjadi andalan utama. Ia memperkirakan, setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan menghasilkan tambahan pendapatan pajak sekitar Rp 220 triliun. “Kalau saya enggak salah hitung, setiap tumbuh 1%, tambahan lebih 1% ekonomi, saya dapat tambahan income sekitar Rp 220 triliun atau lebih. Jadi, itu yang kita kejar. Kalau tambah setengah persen, income saya tambah Rp 110 triliun. Jadi, itu yang kita kejar nanti,” ungkapnya.

Advertisement
Mureks