Internasional

Perang Dagang AS di Era Trump 2025: Menguak Dampak Tarif dan Ketidakpastian Ekonomi Global

Advertisement

Sepanjang tahun 2025, lanskap ekonomi global diwarnai gejolak akibat kebijakan perang dagang yang diinisiasi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Dengan menjadikan tarif impor sebagai instrumen utama kebijakan ekonomi dan luar negerinya, Washington secara bergantian mengumumkan, menunda, menegosiasikan, hingga merevisi bea masuk terhadap berbagai mitra dagang.

Situasi ini menciptakan ketidakpastian global yang meluas, dari pabrik mainan di China hingga petani kopi di Brasil, menandai era baru dalam hubungan perdagangan internasional.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Kebangkitan Tarif dan “Hari Pembebasan”

Trump menetapkan status darurat nasional terkait defisit perdagangan AS, memberlakukan tarif impor baru berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Ekonomi Darurat Internasional (IEEPA). Kebijakan ini mengenakan tarif dasar 10% ke hampir seluruh negara, ditambah tarif tambahan untuk mitra dagang tertentu, memicu eskalasi perang dagang global.

Meski demikian, Washington juga membuka jalur negosiasi dengan sejumlah mitra utama seperti Inggris, Jepang, Uni Eropa (UE), dan Korea Selatan, menciptakan dinamika tarik-ulur sepanjang tahun 2025. Puncaknya terjadi pada 2 April 2025, ketika Trump mengumumkan tarif timbal balik besar-besaran, yang Gedung Putih sebut sebagai “Hari Pembebasan”.

Dampaknya, tarif efektif rata-rata AS melonjak ke kisaran 16-17%, level tertinggi sejak era Depresi Besar pada 1930-an.

Dampak Ekonomi: Pendapatan Negara dan Beban Rumah Tangga

Kebijakan tarif ini berhasil mendongkrak penerimaan pemerintah AS secara signifikan. Sepanjang 2025, pendapatan dari tarif diperkirakan mencapai sekitar US$200 miliar (sekitar Rp3.160 triliun) secara kumulatif, atau sekitar US$30 miliar per bulan (sekitar Rp474 triliun).

Namun, biaya kebijakan ini juga dirasakan langsung oleh masyarakat. Menurut Tax Foundation, tarif tersebut setara dengan kenaikan pajak rata-rata US$1.100 per rumah tangga AS (sekitar Rp17,4 juta) pada 2025 akibat kenaikan harga barang.

Pandangan Analis: Proteksionisme atau Pendekatan Personal?

“Masih belum jelas seberapa tahan lama kebangkitan tarif sebagai alat geopolitik ini,” kata analis kebijakan Cato Institute, Colin Grabow, seperti dikutip TRT World. Ia menilai kebijakan Trump lebih mencerminkan pendekatan personal presiden ketimbang kebangkitan proteksionisme luas. “Dukungan publik terhadap perdagangan internasional tetap kuat, dan tarif tidak populer karena biayanya semakin terlihat,” imbuhnya.

Pandangan berbeda datang dari analis Beijing, Jianlu Bi, yang menilai 2025 sebagai titik balik besar. Menurut Bi, AS beralih dari multilateralisme ke kesepakatan bilateral, memprioritaskan keamanan nasional, serta mempersenjatai tarif sebagai alat geopolitik. “Kebijakan perdagangan Presiden Trump mewakili kebangkitan tarif paling agresif dalam hampir satu abad, secara efektif mengakhiri era liberalisasi perdagangan pasca-Perang Dunia II,” tegasnya.

Advertisement

Tarik Ulur Tarif dengan China

Ketegangan paling tajam terjadi antara AS dan China. Trump menaikkan tarif impor terhadap produk China hingga 104% pada April 2025, sebelum kembali melonjak menjadi 125% menyusul langkah balasan dari Beijing. Dinamika ini menunjukkan fluktuasi ekstrem, di mana China bisa menghadapi tarif tinggi dalam satu hari, lalu keesokan harinya Washington membuka ruang kompromi.

Ketegangan mulai mereda pada paruh kedua tahun setelah kedua negara menyepakati semacam gencatan senjata dagang. AS juga menunda pemberlakuan tarif tambahan atas semikonduktor China hingga Juni 2027, dengan tarif nol selama 18 bulan sebelum diterapkan secara bertahap. Langkah ini memberikan napas sementara bagi industri teknologi global.

Indonesia Sempat Terancam Tarif Tinggi

Indonesia turut terdampak gonjang-ganjing kebijakan tersebut. RI sempat masuk daftar negara yang terancam tarif hingga 32%, salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Namun, AS menangguhkan kebijakan itu selama 90 hari guna membuka ruang negosiasi.

Hasilnya, pada Juli 2025, tarif impor AS terhadap produk Indonesia disepakati turun menjadi 19%. Meskipun demikian, perundingan belum sepenuhnya rampung. Negosiasi lanjutan masih berlangsung hingga akhir tahun, dengan rencana penandatanganan perjanjian dagang lanjutan pada awal 2026.

Warisan dan Tantangan ke Depan

Meskipun banyak ekonom sebelumnya memprediksi bencana ekonomi dan lonjakan inflasi, dampaknya relatif lebih terkendali. Ekonomi AS sempat terkontraksi moderat pada kuartal I-2025 akibat lonjakan impor sebelum tarif berlaku, namun kembali tumbuh didorong investasi besar di kecerdasan buatan dan konsumsi yang tetap kuat.

Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan dua kali menaikkan proyeksi pertumbuhan global setelah ketidakpastian mereda. Namun, warisan gonjang-ganjing perang dagang Trump belum berakhir. Tantangan hukum atas dasar penerapan tarif timbal balik masih bergulir di Mahkamah Agung AS, sementara masa depan hubungan dagang AS-China serta peninjauan perjanjian dengan Kanada dan Meksiko berpotensi membuka babak baru ketidakpastian pada 2026.

Satu hal jelas: sepanjang 2025, perang dagang Trump telah mengubah lanskap perdagangan global, dan dampaknya belum sepenuhnya usai.

Advertisement
Mureks