Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengkritik formula perhitungan upah minimum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025. Menurutnya, implementasi formula tersebut justru memperlebar ketimpangan upah antar daerah, alih-alih menyelesaikannya.
Pemerintah telah memberlakukan rumus terbaru untuk menghitung upah minimum tahun depan, di mana para Gubernur telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) berdasarkan PP 49/2025. Formula perhitungan kenaikan upah ditetapkan sebesar Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi x Alfa) dengan rentang Alfa 0,5 – 0,9. Meskipun beberapa kalangan buruh menerima formula ini dengan catatan, sebagian lainnya menolak.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Ristadi mengapresiasi langkah pemerintah yang tidak lagi memutuskan kenaikan Upah Minimum 2026 dengan persentase sama se-Indonesia, yang bertujuan menghindari kesenjangan upah minimum antar daerah yang lebih tinggi. Namun, ia menilai formula perhitungan upah minimum dalam PP 49 Tahun 2025 perlu perbaikan.
Disparitas Upah Semakin Lebar
“Bahwa setelah menerima data kenaikan upah minimum dari berbagai daerah seperti dari Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Yogjakarta, Jatim dan lain-lain, ternyata sebagaimana yang kami prediksi dari awal, implementasi PP 49/2025 tidak menjawab persoalan disparitas upah antar daerah, bahkan membuat ketimpangan bertambah lebar,” ungkap Ristadi kepada CNBC Indonesia pada Kamis (25/12/2025).
Ia mencontohkan kasus Kota Bekasi, yang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) naik sekitar Rp 300 ribuan sehingga UMK 2026 menjadi Rp 5,99 juta. Sementara itu, Kota Banjar hanya mengalami kenaikan sekitar Rp 150 ribuan, menjadikan UMK 2026 sebesar Rp 2,36 juta. Fakta ini menunjukkan bahwa UMK di daerah yang sudah tinggi mengalami kenaikan dua kali lipat dibandingkan UMK di daerah yang rendah, yang berakibat pada pelebaran ketimpangan upah.
“Dan banyak contoh daerah lainnya tidak jauh beda, upah yang sudah lebih tinggi naiknya justru lebih tinggi secara nilai rupiah,” sebutnya.
Ristadi juga menyoroti anomali dalam penetapan upah, di mana Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2026 sebesar Rp 5,72 juta justru lebih rendah dari UMK Kota Bekasi yang mencapai Rp 5,99 juta. Padahal, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan hidup di Jakarta lebih tinggi dari Kota Bekasi. Selain itu, Jakarta memiliki lebih banyak industri dengan business value yang lebih tinggi dibandingkan Kota Bekasi.
“Jika formulasi kenaikan upah masih seperti sekarang, maka ke depan ketimpangan/disparitas upah antar daerah akan semakin tinggi, ini tidak adil utk pekerja dan tidak sehat untuk persaingan dunia usaha untuk jenis dan skala usaha yang sama,” bebernya.
Usulan Reformasi Upah Berbasis Sektor dan Skala Usaha
Oleh karena itu, Ristadi mengusulkan agar ke depan ada reformasi kenaikan upah yang tidak lagi didasarkan pada kedaerahan, melainkan berdasarkan jenis sektor dan skala usahanya. Menurutnya, jenis sektor dan skala usaha yang sama harus memiliki upah yang sama di seluruh Indonesia.
Pertimbangan ini dinilai akan lebih menghargai faktor kompetensi dan jam kerja pekerja. Selain itu, skala usaha dengan business value yang tinggi akan memiliki perbedaan dengan yang business value-nya rendah, sehingga upah yang diberikan pun akan proporsional.
“Ini yang dimaksud adil untuk pekerja dan sehat untuk persaingan dunia usaha, sehingga tidak saling menjatuhkan yang bisa berdampak terjadi PHK semakin besar,” ucapnya.






