Sebuah pesan WhatsApp pada Senin malam, 15 Desember 2025, menjadi pembuka kisah pilu sekaligus heroik. Saat Aceh masih diselimuti kegelapan dan konektivitas internet yang buruk, jurnalis Kamaruddin menerima kabar dari rekannya, Maskur, yang terjebak dalam bencana banjir dahsyat. Pesan itu mengawali cerita perjuangan tiga jurnalis yang terisolasi selama tujuh hari di tengah kepungan banjir di Aceh Tamiang dan Langsa.
Kisah ini bermula pada Selasa pagi, 25 November 2025, ketika Maskur bersama Ramadan (pengemudi) dan Rizal, tim jurnalis yang berencana melakukan survei dan riset buku, memulai perjalanan dari Medan menuju Banda Aceh. Hujan lebat yang telah tiga hari mengguyur Sumatra menemani perjalanan mereka. Saat melintasi antara Langsa menuju Idi, Aceh Timur, sekitar pukul 21.00 WIB, banjir mulai merendam badan jalan.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Perjalanan Terhenti di Tengah Badai
Sepuluh kilometer setelah kota Idi, arah Peurlak menuju Lhokseumawe, perjalanan tim terhenti total. Sebuah pohon tumbang menimpa tiang listrik, menyebabkan jaringan PLN padam. Kondisi malam itu kian memburuk dengan angin badai dan hujan lebat. “Setelah berembuk, kami sepakat putar balik ke kota Idi. Angin badai disertai hujan lebat membuat kondisi malam itu kian memburuk. Cukup mencemaskan. Ruas jalan mulai terendam banjir,” tutur Maskur.
Mereka memutuskan menginap di losmen lantai dua di Idi. Pagi harinya, Rabu, 26 November, jalan di depan losmen telah terendam air setinggi betis. Setelah mendapat informasi kondisi banjir di Krueng Geukueh, Lhokseumawe, mereka membatalkan perjalanan ke Banda Aceh dan kembali menuju Langsa. Dalam perjalanan, mereka harus menerjang sedikitnya lima titik banjir yang cukup dalam dan deras. Sepanjang jalan, ketiganya terus beristighfar melihat ngerinya kondisi saat itu.
Selain itu, Maskur dan rekan-rekannya juga sempat berpapasan dengan truk-truk raksasa berplat B yang berkonvoi menuju Langsa. Air tampak merendam rumah warga di sisi kiri kanan jalan lintas Sumatra. Hanya tiga petugas yang terlihat membantu membimbing pengendara, sementara lebih banyak warga setempat yang menjadi relawan.
Terisolasi di SPBU Langsa
Setibanya di Langsa, di luar dugaan, pusat kota sudah tenggelam dan akses masuk diblokade. “Pak tidak bisa masuk, kota tenggelam, air setinggi leher,” kata Maskur menirukan ucapan warga yang berjaga di simpang tugu. Ramadan kemudian mengambil jalan elak ke arah terminal, satu-satunya jalur yang masih bisa dilalui. Namun, sekitar 200 meter menuju Mapolres, ruas jalan kembali tergenang banjir cukup tinggi dan deras. Mobil mereka mencoba menembus, tetapi hanya mencapai 50 meter sebelum air terlalu tinggi dan deras.
Mereka memutuskan kembali ke SPBU yang lokasinya lebih tinggi dan bertahan di sana. “Malam itu, saya dan teman-teman memutuskan tidur di dalam mobil, yang parkir di halaman SPBU,” ucap Maskur. Sebagai jurnalis berpengalaman yang pernah meliput daerah berbahaya untuk BBC Siaran Indonesia, Maskur awas mengamati sekeliling SPBU, memikirkan rencana evakuasi jika air naik.
Pada Rabu sore, sekitar pukul 15.00 WIB, koneksi internet dan telepon seluler putus total. Sejak saat itu, Maskur, Ramadan, dan Rizal tidak bisa lagi berkomunikasi dengan dunia luar, termasuk keluarga dan redaksi. Listrik PLN juga padam di hampir seluruh Langsa, termasuk SPBU. Mereka melewati malam itu dalam kegelapan, hanya mengandalkan senter ponsel.
Keesokan harinya, Kamis, 27 November, mereka masih bertahan di SPBU. Jalan nasional dan parit-parit di dekat SPBU tak lagi tampak, hanya genangan air bercampur lumpur. “Kami coba mencari koneksi internet, tapi tak ada sinyal. Tak ada pesan yang terkirim atau diterima dan tak ada panggilan yang terjawab. Ponsel yang di tangan tak berdering sejak Rabu sore, sehari sebelumnya,” cerita Maskur. Puluhan pengungsi juga berlindung di mushala SPBU, dengan raut cemas karena tidak bisa mengabari keluarga. “Suasananya kacau. Internet putus, begitu juga jaringan telepon seluler. Kalau terjadi apa-apa, setidaknya keluarga harus tahu posisi kita,” kata Maskur.
Meski terhalang sinyal, Maskur tetap merekam momen sejak di Idi hingga tiba di SPBU Langsa. Sebagai jurnalis senior, hatinya tergerak untuk mengabarkan parahnya bencana ini. “Sejak sekian lama, ini banjir terparah yang pernah saya lihat,” ujarnya.
Upaya Menembus Banjir dan Kegagalan
Kamis siang, debit air di Langsa mulai menurun. Mereka bergerak dari Jalan Elak Langsa, menerobos genangan air dan lumpur, menuju Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Ruas jalan tampak rusak akibat sapuan air. Setibanya di kawasan Bukit Tinggi menuju Manyak Payed, Aceh Tamiang, debit air kembali tinggi. Mereka terhenti dan memutuskan kembali ke Bukit Tinggi, memarkir mobil di depan Warung Kakak Adik untuk makan siang.
Melihat ada truk towing di halaman warung, Ramadan meminta bantuan sopirnya untuk menyeberangkan mobil mereka. “Rencananya kami berharap bisa melintasi banjir hingga ke Pangkalan Berandan, Sumatera Utara,” kata Maskur. Hari mulai gelap, mobil HR-V sudah dinaikkan ke atas truk towing. Namun, sekitar seribu meter berjalan, sopir truk tiba-tiba berhenti. Ia menyampaikan permohonan maaf, mengatakan banjir tak mungkin ditembus karena ketinggian air berbahaya dan arus makin deras. Truk pun kembali ke Warung Kakak Adik.
Rasa frustrasi mulai terasa. Bahkan bantuan truk towing yang tinggi pun gagal menembus banjir. Hari telah berganti malam, mereka pun terpaksa menginap di atas truk towing. Pada Jumat, 28 November 2025, saat bangun Subuh, Maskur melihat air sudah naik lagi, merendam setengah ban truk towing. “Posisi mobil kami tetap di atas truk towing yang terparkir di depan Warung Kakak Adik, Bukit Tinggi,” tulis Maskur. Area parkir telah tergenang air setinggi lutut orang dewasa, dan Warung Kakak Adik pun terendam. Jaringan internet, seluler, dan listrik tetap mati. Mereka beraktivitas dan tidur dalam kegelapan, tanpa bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Untuk makan, mereka harus berjalan melewati air setinggi paha menuju warung yang juga terendam.
Titik Terang di Pelabuhan Kuala Langsa
Pada Sabtu, 29 November 2025, sekitar pukul 07.00 WIB, air banjir masih tinggi. Warga yang terjebak umumnya hanya bisa sarapan pop mie. Mushala yang sehari sebelumnya menjadi lokasi pengungsian juga kebanjiran, membuat pengungsi pindah ke tempat lebih tinggi. Pagi itu, sekitar pukul 07.30 WIB, mereka memutuskan kembali ke Langsa setelah mendengar kabar banjir mulai surut. Mobil kembali melaju pelan di atas lumpur, melintasi hamparan sawah yang tampak seperti lautan.
Setibanya di SPBU Jalan Elak Langsa, antrean kendaraan sudah mengular. Mereka melanjutkan perjalanan mencari ATM yang beroperasi, bahkan hingga ke kampus Unsam yang tidak terdampak banjir, namun ATM di sana juga tidak berfungsi karena listrik padam. Di Unsam, seorang teman mengajak mereka menemui Irawan di kantor Bea Cukai Langsa. Mereka pun bergerak ke kantor Bea Cukai yang masih berlumpur, namun Irawan tidak di tempat, melainkan di kapal Bea Cukai di Pelabuhan Kuala Langsa.
Tim jurnalis langsung menuju Pelabuhan Kuala Langsa dan merapat ke kapal BC 30001 milik Bea Cukai. Di sana mereka bertemu Irawan, yang kemudian memperkenalkan mereka kepada Mas Budi Irawan, Komandan Patroli Bea Cukai. Setelah mengetahui adanya jaringan internet satelit di kapal, momen itu langsung digunakan untuk berkomunikasi dengan keluarga masing-masing. “Untuk pertama kali setelah empat hari empat malam terjebak banjir, tak terhubung dengan dunia luar, keluarga, siang itu kami bisa terhubung,” kata Maskur. Di atas kapal BC 30001 pula, mereka mendapatkan sajian kopi mesin yang terasa paling enak sedunia. “Akhirnya kami dapat berkomunikasi dengan keluarga, redaksi masing-masing media, dan teman-teman. Emosi haru tak terbendung saat pertama kali bisa memberi kabar bahwa kami selamat dari jebakan banjir,” tutur Maskur dengan suara bergetar. Mereka juga sempat berfoto bersama Komandan Patroli Budi Irawan dan dikenalkan dengan kapten kapal serta kepala Bea Cukai Langsa.
Kembali ke Langsa dan Krisis Air Bersih
Sekitar dua jam di Pelabuhan Kuala Langsa, mereka kembali ke kota Langsa untuk mengisi BBM dan mencari jurnalis lain, namun toko-toko masih tutup dan SPBU penuh antrean. Mereka kemudian shalat dan berdiam di Masjid Agung Langsa. Lepas Isya, mereka kembali menginap di mobil di dermaga Pelabuhan Kuala Langsa, dekat kapal BC 30001, merasa aman dan nyaman dengan koneksi internet yang kembali lancar.
Minggu pagi, 30 November 2025, Maskur dan teman-teman meninggalkan pelabuhan menuju kota Langsa untuk sarapan. Mereka kembali mencari ATM, namun belum ada yang beroperasi. Mereka memutuskan menuju Aceh Tamiang untuk survei, memastikan apakah kawasan itu sudah bisa diterobos. Di Warung Kakak Adik, truk towing yang sempat membantu mereka masih terparkir, menandakan ruas jalan lintas Sumatra belum dapat dilalui sepenuhnya. Mereka mencoba menerobos banjir yang mulai surut, namun di ujung jalan, air masih cukup tinggi, membuat kendaraan mengular tak berani melintas. Akhirnya mereka kembali ke kota Langsa, menghabiskan sore di buritan kapal, sebelum shalat Magrib di Masjid Agung dan makan malam di warung yang sudah buka. Lepas Isya, mereka kembali menginap di mobil di dermaga Pelabuhan Kuala Langsa.
Pada Senin, 1 Desember 2025, pukul 04.00 WIB, mereka bergerak menuju kota Langsa, shalat Subuh di Masjid Baitul Aminin Seuriget. “Usai shalat Subuh kami semua mandi di masjid ini. Ini mandi pertama kali setelah 6 hari belum pernah mandi karena terjadi krisis air bersih di mana-mana. Tapi masjid ini tak terdampak banjir. Masjidnya cukup bersih, orangnya ramah-ramah,” ujar Maskur. Listrik mulai menyala meski belum normal, dan jaringan internet mulai berfungsi meski masih buruk. Sebagian ATM sudah beroperasi, namun antrean mencapai 100 meter. Antrean BBM di SPBU bahkan mengular hingga satu kilometer lebih. Sore harinya, Maskur berhasil mendapatkan penginapan di seberang SPBU pusat kota Langsa yang tidak terlalu terdampak banjir. Setelah tujuh hari terjebak, mereka akhirnya bisa tidur nyenyak di penginapan tersebut.
Melintasi Kuala Simpang yang Porak-poranda
Pada Selasa, 2 Desember 2025, sekitar pukul 05.00 WIB, Rizal harus mengantre BBM. “Bisa bayangkan, antri mulai Subuh, baru bisa mencapai SPBU dan mengisi BBM pada pukul 11.00 WIB siang. Itupun dibatasi hanya bisa mengisi 200 ribu Pertalite,” tutur Maskur. Sore harinya, Ramadan mengajak Maskur kembali ke perbatasan Aceh Tamiang untuk survei lokasi. Kendaraan besar sudah tidak tampak lagi, menandakan kawasan Manyak Payet menuju Kuala Simpang sudah bisa dilintasi.
Awalnya mereka berencana melanjutkan perjalanan ke Kuala Simpang dan Medan pada Selasa pagi, namun Ramadan memutuskan untuk berangkat selepas Magrib karena cuaca yang mengkhawatirkan. Selepas Magrib, setelah makan nasi bungkus, mereka meninggalkan Langsa menuju Kuala Simpang, Aceh Tamiang. Mereka berjalan pelan dalam kegelapan, melintasi daerah berbahaya yang terdampak banjir bandang. Untuk pertama kalinya, mereka melihat kayu-kayu gelondongan berserakan, mobil-mobil ringsek, dan ratusan sepeda motor terendam lumpur.
Malam itu, keheningan menyelimuti perjalanan. Ketakutan terasa setiap melihat keluar jendela. Tiba-tiba seorang pemuda berlumpur menghadang mobil, berharap sumbangan. Ramadan membuka kaca mobil dan menyodorkan uang. Tak jauh dari situ, pemuda lain membantu memandu pengendara melewati jalan yang licin dan sempit akibat puing-puing. “Ada yang minta minum. Ada yang hanya minta snack. Mungkin sudah berhari-hari mereka belum makan,” kenang Maskur.
Memasuki Kuala Simpang, bau busuk menyengat di udara. Lumpur tebal masih menutupi jalanan. Lapangan yang terlihat ternyata bekas tapak beberapa rumah yang hanyut diterjang banjir. “Kota ini seperti kota mati, yang ditinggalkan penghuninya. Porak-poranda. Bagaimana nasib penghuninya, ngungsi kemana lah mereka,” kata Ramadan. Kota itu benar-benar tampak seperti kota mati, porak-poranda dalam kegelapan dan kesedihan. Rumah-rumah hancur berantakan, bahkan ada yang hilang hanya menyisakan tapaknya. Mobil jungkir balik, sepeda motor, dan puing-puing rumah berserakan dihantam kayu gelondongan. “Dari kaca mobil yang gelap itu, kami melihat keluar, namun aroma menyengat memaksa Pak Ramadan kembali menutup jendela mobil.” Penyintas banjir tampak terkulai di pinggir jalan, sebagian tertidur di kursi atau trotoar, di antara tumpukan lumpur. “Mata mereka kosong, menatap rumah mereka yang sudah hanyut ditelan lumpur yang menumpuk memenuhi rumah.”
Sejumlah tiang listrik tumbang, menyilang dengan batang pohon, menjadi perintang yang sulit dilewati. Puluhan mobil terdampak banjir dibiarkan mangkrak di jalanan. Beberapa orang membakar ban bekas atau puing-puing kayu untuk menghangatkan diri dan mengusir nyamuk. “Pak Ramadan tetap fokus menyetir, tapi tampak menetes air matanya. Begitu juga saya dan Rizal. Tak terbendung kesedihan kami melihat kondisi saudara-saudara kita di Kuala Simpang dan daerah lain di Aceh Tamiang,” ujar Maskur. Mirisnya, sejak hari pertama bencana, Maskur dan teman-teman nyaris tidak melihat petugas negara di jalan lintas Sumatra, kecuali tiga orang saat melintas antara Idi – Langsa sepekan sebelumnya.
Rabu dini hari, 3 Desember 2025, Maskur dan teman-teman masih berada di Aceh Tamiang, melewati Kuala Simpang. Honda CR-V terus bergerak menembus lumpur basah dan genangan banjir yang masih membahayakan. Di depan Makodim Aceh Tamiang, air masih tinggi di beberapa titik, membuat banyak kendaraan mengantre dan sopir ragu-ragu melintas. Hujan deras kembali turun, menambah keraguan. “Di tengah keraguan itu, Pak Ramadan dan saya sepakat untuk tetap melintasi genangan banjir. Kami bersiap menghadapi risiko, mobil mogok atau harus berhenti di tengah banjir,” kata Maskur. Ramadan turun dari mobil, berjalan 300 meter ke arah banjir untuk memastikan ketinggian air. Setelah memperhatikan kendaraan besar yang mampu menerobos, Ramadan merasa yakin. “Bismillah. Kita lanjut,” kata Ramadan setelah masuk ke mobil, memecah keraguan mereka. Dan akhirnya, mereka berhasil lolos.






