Nasional

Membongkar Narasi Perubahan Pendidikan Vokasi dan Khusus: Buku ‘Semua Bisa Berdaya’ Hadirkan Potret Komprehensif

Buku berjudul “Semua Bisa Berdaya” hadir sebagai narasi penting tentang perubahan fundamental dalam arah pendidikan vokasi, pendidikan khusus, dan pendidikan layanan khusus di Indonesia. Karya ini bukan sekadar laporan administratif, melainkan sebuah potret bagaimana negara berupaya hadir untuk setiap anak bangsa, termasuk mereka yang selama ini tertinggal, terpinggirkan, dan membutuhkan dukungan afirmatif.

Melalui buku ini, pembaca diajak memahami pesan kunci bahwa pendidikan harus memiliki daya untuk memberdayakan semua individu, tanpa terkecuali. Penulis, Tatang Muttaqin, seorang Fellow di Groningen Research Centre for Southeast Asia and ASEAN, menyusun buku ini dengan alur yang runtut, dimulai dari prolog hingga epilog, memberikan gambaran utuh tentang transformasi dan arah baru Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Pendidikan Khusus, dan Pendidikan Layanan Khusus (PKPLK) di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Tonggak Penting Kebijakan Inklusif

Lahirnya Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi PKPLK melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 188 Tahun 2024 menjadi tonggak sejarah. Untuk pertama kalinya, tiga pilar pendidikan ini berada dalam satu atap kebijakan. Hal ini, menurut buku tersebut, bukan sekadar penataan organisasi, melainkan pernyataan sikap tegas bahwa layanan pendidikan harus bersifat inklusif sekaligus relevan dengan kebutuhan dunia kerja.

Pada bagian awal, buku “Semua Bisa Berdaya” menguraikan mandat besar Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi PKPLK. Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), Sekolah Luar Biasa (SLB), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), dan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) disatukan dalam satu visi besar: membangun manusia Indonesia yang berdaya. Makna “berdaya” yang diusung dalam buku ini terasa luas dan humanis, tidak hanya terbatas pada keterampilan kerja, tetapi juga mencakup kemandirian, inklusivitas, dan kemampuan untuk bertumbuh sepanjang hayat. Pendidikan diposisikan sebagai jalan untuk mengubah nasib, membuka peluang, menumbuhkan harapan, dan memanusiakan manusia.

Dari Pidato Presiden hingga Program Konkret

Bab “Tujuan Mulia Presiden dan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC)” dalam buku ini memperlihatkan bagaimana kebijakan nasional diterjemahkan ke dalam program-program konkret. Pidato Presiden Prabowo Subianto pada 15 Agustus 2025 menjadi penunjuk arah yang tegas, menegaskan bahwa pendidikan vokasi adalah poros utama pembangunan sumber daya manusia (SDM). Buku ini menunjukkan bahwa arah tersebut tidak berhenti pada tataran wacana, melainkan diimplementasikan melalui revitalisasi satuan pendidikan, digitalisasi pembelajaran, dan pemenuhan gizi anak sekolah.

Program Revitalisasi Satuan Pendidikan dituturkan dengan memikat, tidak hanya berfokus pada aspek bangunan fisik, tetapi juga dampak sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya. Renovasi ruang kelas, laboratorium, dan sarana praktik di ribuan SMK, SLB, PKBM, dan SKB digambarkan sebagai upaya menghadirkan ruang belajar yang aman, ramah, dan bermartabat. Lebih dari itu, program ini menciptakan efek ekonomi berlapis dengan menyerap puluhan ribu tenaga kerja lokal dan melibatkan ribuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Dalam narasi buku ini, pendidikan tidak hanya berfungsi mencerdaskan, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi rakyat.

Digitalisasi dan Gizi untuk Pemerataan

Bagian tentang digitalisasi pembelajaran menjadi salah satu sorotan utama. Kehadiran papan interaktif digital (PID) atau interactive flat panel (IFP) digambarkan bukan sekadar simbol kecanggihan teknologi, melainkan alat transformasi pedagogi. Di SMK, PID mendukung pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan simulasi industri. Sementara di SLB, teknologi ini membuka akses belajar yang lebih inklusif bagi peserta didik penyandang disabilitas. Untuk PKBM dan SKB, digitalisasi menjadi jembatan bagi pendidikan sepanjang hayat. Buku ini berhasil menunjukkan bahwa teknologi, ketika dirancang dengan niat yang tepat, dapat menjadi alat pemerataan, bukan sumber kesenjangan baru.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menambah dimensi penting dalam cerita besar pendidikan yang diulas buku ini. “Semua Bisa Berdaya” secara apik menautkan gizi, kesehatan, dan proses pembelajaran. Anak yang sehat dipandang sebagai prasyarat utama bagi anak yang siap belajar. Integrasi MBG dengan Gerakan 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat menunjukkan bahwa pendidikan karakter tidak hanya diajarkan melalui kata-kata, tetapi juga melalui praktik hidup sehari-hari. Dampak ekonominya pun terasa, dengan pelibatan petani, nelayan, UMKM, dan koperasi lokal dalam rantai pasok.

Menyemai Akses Pendidikan yang Setara

Bab “Menyemai Akses Pendidikan yang Setara” menyentuh sisi emosional buku ini. Data tentang Angka Partisipasi Kasar dan jutaan anak usia sekolah yang belum bersekolah dipaparkan secara transparan. Namun, buku ini tidak berhenti pada angka semata. Kisah Pendidikan Jarak Jauh (PJJ), termasuk uji terap di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu, menghadirkan wajah manusiawi dari kebijakan tersebut. Cerita orang tua pekerja migran yang berharap anaknya memiliki masa depan lebih baik membuat pembaca menyadari bahwa pendidikan adalah soal harapan lintas generasi.

Pendidikan inklusif juga mendapat ruang yang layak dalam buku ini. “Semua Bisa Berdaya” menegaskan bahwa pendidikan bermutu untuk semua bukanlah slogan kosong. Layanan bagi penyandang disabilitas, anak-anak di daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), hingga warga belajar di jalur nonformal diposisikan setara. Negara hadir melalui kebijakan afirmatif, inovasi layanan, dan pendekatan yang menghormati keragaman.

Sebagai buku yang merekam kinerja dan kebijakan, “Semua Bisa Berdaya” tentu memiliki gaya narasi yang formal dan padat. Namun, justru di situlah kekuatannya, karena mampu memberikan gambaran utuh tentang kerja besar di balik layar pendidikan di tanah air. Buku ini direkomendasikan bagi pendidik, pengambil kebijakan, pegiat pendidikan, dan siapa pun yang meyakini bahwa pendidikan adalah instrumen paling ampuh untuk memberdayakan manusia.

Pada akhirnya, “Semua Bisa Berdaya” adalah sebuah ajakan optimistis bahwa dengan kebijakan yang inklusif, kolaboratif, dan berpihak pada manusia, pendidikan dapat menjadi jalan bagi setiap anak bangsa untuk berdiri tegak, percaya diri, dan berdaya, apa pun latar belakangnya.

Mureks