Setiap tahun, Martapura, sebuah kota kecil di Kalimantan Selatan, bertransformasi menjadi lautan manusia. Jalan-jalan utama dipadati jutaan jamaah dari berbagai daerah, bahkan mancanegara. Mereka datang dengan satu tujuan: menghadiri Haul Guru Sekumpul, sebuah peringatan wafatnya KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani, ulama karismatik yang dikenal luas sebagai Guru Sekumpul. Di tengah dunia yang kian cepat, terfragmentasi, dan rasional, haul ini justru menghadirkan fenomena langka: spiritualitas kolektif yang hidup dan nyata.
Guru Sekumpul wafat pada 5 Rajab 1426 Hijriah, bertepatan dengan 10 Agustus 2005. Sejak saat itu, haul beliau rutin diperingati setiap tahun di Musala Ar-Raudhah, Sekumpul. Tahun 2025 ini memiliki kekhasan tersendiri. Perbedaan sistem kalender Hijriah dan Masehi menyebabkan tanggal 5 Rajab jatuh dua kali dalam satu tahun, yakni pada 5 Januari 2025 dan kembali pada 25 Desember 2025. Puncak haul diperkirakan berlangsung pada Minggu malam Senin, 28 Desember 2025, menjadikannya momentum spiritual yang istimewa.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Kesederhanaan Ritual yang Menghimpun Jutaan Jiwa
Rangkaian acara haul sesungguhnya berlangsung sederhana dan jauh dari kesan seremonial berlebihan. Kegiatan dimulai selepas waktu Magrib dengan salat berjamaah, dilanjutkan wirid dan doa bersama. Setelah itu, jamaah membaca Maulid Simthud Durar secara khidmat, yang kemudian ditutup dengan tahlil. Usai seluruh rangkaian tersebut, salat Isya kembali dilaksanakan secara berjamaah. Tidak ada panggung megah, hiburan, atau agenda kompleks, hanya praktik-praktik ibadah yang akrab dalam tradisi Islam. Dalam kesederhanaan inilah, jutaan orang menemukan ketenangan dan kedalaman makna.
Data kehadiran jamaah memperlihatkan skala yang sulit dibayangkan. Haul awal tahun 2025 diperkirakan dihadiri sekitar 4,1 juta orang, melonjak tajam dibandingkan tahun 2024 yang berada di kisaran 3,3 juta jamaah. Aktivitas jaringan seluler di wilayah Martapura bahkan mencatat lebih dari empat juta perangkat aktif saat puncak acara. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan representasi arus kerinduan spiritual yang bergerak secara masif, melampaui sekat geografis dan sosial.
Solidaritas Sosial di Tengah Pragmatisme Modern
Di tengah dunia modern yang cenderung menilai segala sesuatu secara fungsional dan pragmatis, Haul Guru Sekumpul tampil sebagai pengecualian yang bermakna. Jutaan orang rela menempuh perjalanan jauh, mengeluarkan biaya transportasi sendiri, meninggalkan pekerjaan, serta berjam-jam berjalan kaki atau menunggu di bawah terik matahari. Sebagian jamaah menginap di masjid atau di rumah-rumah warga yang dengan terbuka menyambut tamu tanpa mengenal latar belakang mereka.
Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang secara swadaya menyediakan rest area dan tempat penginapan gratis lengkap dengan makanan dan minuman untuk para jamaah haul. Tidak ada tiket, imbalan materi, atau keuntungan ekonomis yang dijanjikan. Demi kelancaran acara, Dinas Pendidikan Kabupaten Banjar bahkan meliburkan puluhan sekolah yang berada di jalur utama haul.
Sepanjang rute menuju Sekumpul, pemandangan lain yang tak kalah menggetarkan hati terlihat: puluhan hingga ratusan pos singgah dan rest area spontan berdiri di halaman rumah, pinggir jalan, dan gang-gang kecil. Fasilitas ini tidak hanya menyediakan konsumsi, tetapi juga tempat beristirahat dan menginap secara gratis. Semua disediakan cuma-cuma, mulai dari air minum, makanan, tempat istirahat, hingga layanan pijat. Tidak ada spanduk sponsor atau transaksi jual beli. Ini bukan kegiatan amal yang disusun melalui proposal dan anggaran resmi, melainkan gerakan gotong royong yang tumbuh dari ketulusan masyarakat, sebuah praktik solidaritas sosial yang lahir dari iman dan cinta.
Pencarian Makna di Era Digital
Pertanyaan mendasarnya sederhana namun mendalam: apa yang membuat jutaan orang rela berkorban seperti ini? Jawabannya terletak pada kebutuhan manusia yang paling hakiki. Manusia tidak hanya membutuhkan pemenuhan fisik, tetapi juga makna. Sebagaimana dikemukakan Viktor Frankl, pencarian makna merupakan motivasi utama dalam hidup manusia; banyak krisis kesehatan mental modern justru berakar pada kehampaan makna hidup itu sendiri. Di tengah meningkatnya persoalan seperti kecemasan, kelelahan emosional, dan tekanan hidup urban, spiritualitas kemudian hadir sebagai ruang pemulihan batin. Dalam khazanah pemikiran Islam, al-Ghazali juga menegaskan bahwa hati yang dipenuhi nilai-nilai spiritual akan mencapai ketenangan sejati. Dalam konteks inilah, Haul Guru Sekumpul menjadi ruang kolektif tempat banyak orang menambatkan harapan, menenangkan batin, dan menemukan kembali orientasi hidup.
Ironisnya, era digital membuat manusia semakin terhubung secara teknologis, namun kian terasing secara sosial. Algoritma mampu menebak preferensi kita, tetapi gagal memahami kegelisahan terdalam kita. Rasionalitas modern piawai menjelaskan cara hidup yang efektif, tetapi sering gagap menjawab pertanyaan paling mendasar: untuk apa hidup ini dijalani? Kita memiliki ratusan kontak di ponsel, namun jarang merasakan kehadiran yang sungguh-sungguh. Dalam konteks inilah, haul menjadi ruang perjumpaan manusiawi yang autentik.
Keteladanan Guru Sekumpul dan ‘Ashabiyyah Religius
Kedekatan jamaah dengan Guru Sekumpul tidak dibangun melalui kampanye masif atau pencitraan. Ia tumbuh secara alami dari keteladanan hidup. Guru Sekumpul lahir dan besar di Martapura dalam keluarga sederhana. Sejak usia muda, beliau menempuh perjalanan panjang dalam menuntut ilmu. Ia merupakan keturunan ke-8 dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, ulama besar Kalimantan Selatan dan penulis kitab Sabilal Muhtadin yang hingga kini menjadi rujukan penting dalam fikih. Dakwah Guru Sekumpul menekankan akhlak, kesabaran, kerendahan hati, dan konsistensi, jauh dari sensasi dan retorika kosong.
Pengajian yang awalnya berlangsung sederhana di Kampung Keraton perlahan berkembang menjadi pusat aktivitas keagamaan yang dikenal luas. Bukan karena strategi promosi, melainkan karena kuatnya relasi spiritual antara guru dan jamaah. Banyak orang merasa dekat dengan Guru Sekumpul meski tak pernah berjumpa langsung. Di sinilah spiritualitas menunjukkan kekuatannya: ia menembus batas ruang dan waktu, menyentuh hati tanpa syarat pertemuan fisik.
Fenomena Haul Guru Sekumpul juga dapat dibaca melalui kacamata pemikiran Ibnu Khaldun tentang ‘ashabiyyah, ikatan sosial yang lahir dari rasa kebersamaan dan tujuan bersama. Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menegaskan:
“إِنَّ الدَّعْوَةَ الدِّينِيَّةَ مِنْ غَيْرِ عَصَبِيَّةٍ لَا تَتِمُّ”
(“Sesungguhnya dakwah keagamaan tanpa adanya solidaritas sosial tidak akan sempurna.”)
Haul Guru Sekumpul memperlihatkan bagaimana spiritualitas mampu melahirkan ‘ashabiyyah yang kokoh, bukan yang bersifat politis atau primordial, melainkan solidaritas religius yang menyatukan jutaan manusia lintas usia, latar pendidikan, dan status sosial. Anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga lanjut usia hadir dalam satu barisan, dipertautkan oleh kecintaan yang sama.
Relevansi Nilai di Tengah Perubahan Zaman
Kebahagiaan sejati tidak sebanding lurus dengan jumlah pengikut di media sosial. Kedamaian batin tidak selalu hadir bersama kenaikan gaji. Dan kebersamaan yang tulus tidak bisa digantikan oleh percakapan di ruang digital. Fenomena ini menegaskan bahwa manusia, pada hakikatnya, adalah makhluk spiritual yang membutuhkan transendensi, sesuatu yang melampaui dirinya sendiri.
Nilai gotong royong masyarakat Banjar yang terangkum dalam ungkapan “datang barasih, bulik barasih” menjadi bukti bahwa kearifan lokal masih berdenyut kuat. Komunitas bisa terbangun tanpa algoritma. Ketulusan dapat tumbuh tanpa pamrih. Berbagi tetap mungkin di tengah dominasi kapitalisme digital. Haul ini bukan nostalgia masa lalu, melainkan praktik nilai yang relevan bagi masa kini.
Spiritualitas, dalam konteks ini, bukan pelarian dari realitas modern. Ia justru menjadi kebutuhan vital agar manusia tetap waras di tengah hiruk-pikuk kehidupan kontemporer. Bukan soal menolak rasionalitas, tetapi melengkapinya. Ketika kecanggihan teknologi berjalan beriringan dengan kedalaman makna, hidup menjadi lebih utuh.
Maka, ketika pada Minggu malam Senin, 28 Desember 2025, jutaan jamaah kembali memadati Martapura, dunia akan sekali lagi menyaksikan sebuah fenomena yang tak bisa dijelaskan semata dengan logika perhitungan. Mereka datang bukan karena pertimbangan untung atau rugi, melainkan karena panggilan hati. Di sanalah letak keajaibannya: ketika ketulusan mengalahkan kalkulasi, spiritualitas melampaui materialisme, dan kebersamaan menundukkan individualisme. Haul Guru Sekumpul, dengan demikian, bukan sekadar agenda keagamaan tahunan, melainkan ekspresi hidup dari solidaritas spiritual yang tetap relevan di tengah perubahan zaman.






