Sumedang, sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang selama ini dikenal dengan julukan Kota Tahu, kini tengah menjadi sorotan baru di dunia arkeologi dan paleontologi. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sumedang Nomor 1 Tahun 2020, daerah ini telah menyandang status Puseur atau Pusat Budaya Sunda (SPBS) berkat akar sejarah dan tradisi kuat sebagai pewaris Pajajaran, serta perpaduan budaya Sunda dan Islam yang kental. Namun, serangkaian penemuan penting belakangan ini mengukuhkan Sumedang layak menyandang status tambahan sebagai Situs Paleontologi Pleistosen Sunda (SPSS).
Nama Sunda sendiri, konon, pertama kali diperkenalkan oleh Claudius Ptolemaeus, ahli geografi Yunani Kuno, sekitar tahun 150 Masehi. Dalam karyanya Geographike Hyphegesis, Ptolemaeus menyebut adanya kepulauan bernama Sunda di sebelah timur India. Berabad-abad kemudian, pada abad ke-16, bangsa Portugis yang tiba di Nusantara membagi wilayah kepulauan di Asia Tenggara menjadi dua bagian besar: Soenda Mayor (Sunda Besar) yang mencakup pulau-pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi, serta Soenda Minor (Sunda Kecil) yang meliputi gugusan pulau lebih kecil di bagian timur, mulai dari Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, hingga Timor.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Jejak Megafauna Purba di Sumedang
Titik balik pengakuan Sumedang sebagai situs paleontologi dimulai pada tahun 2004. Kala itu, tim ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) berhasil menemukan fosil gading gajah purba Stegodon trigonocephalus di Desa Jembar Wangi dan Desa Darma Wangi, Kecamatan Tomo. Fosil ini diperkirakan berasal dari masa Pleistosen, sekitar 1,5 hingga 2 juta tahun yang lalu. Penemuan tersebut menjadi sangat krusial karena untuk pertama kalinya fosil hewan purba era Pleistosen ditemukan di wilayah Jawa Barat, membuka tabir kehidupan purba di Pulau Jawa bagian barat.
Dua tahun lalu, tepatnya pada tahun 2022, upaya penelitian kembali membuahkan hasil signifikan. Tim peneliti gabungan yang terdiri dari Bidang Kebudayaan Disparbudpora Sumedang, Balai Arkeologi Bandung, serta Badan Geologi dan Paleontologi Kementerian ESDM, menemukan lebih banyak fosil hewan purba. Temuan tersebut mencakup fosil kura-kura air tawar berusia 1,5 hingga 2 juta tahun, dua jenis buaya, sapi purba berusia 800.000 tahun, serta perkakas kuno yang diyakini digunakan oleh manusia pada zaman itu. Hingga saat ini, tercatat ada 677 fosil dan perkakas manusia purba yang berhasil ditemukan di Sumedang.
Sumedang di Masa Lalu: Dari Laut Dangkal hingga Daratan
Penelitian geologi mengungkap bahwa sekitar 4 juta tahun yang lalu, Sumedang merupakan bagian dari tepi laut dangkal yang membentang luas dari Subang hingga Pangandaran. Zona ini kala itu dipenuhi pasir putih, karang, dan berbagai kehidupan laut tropis. Pada masa tersebut, Jawa bagian tengah masih berupa laut, dan rangkaian pegunungan yang kita kenal sekarang belum terbentuk. Sekitar 1,4 juta tahun kemudian, bumi memasuki zaman es pertama, menyebabkan es di kutub membesar dan permukaan laut turun drastis hingga lebih dari 100 meter. Setelah jutaan tahun menjadi laut, Sumedang akhirnya mengering dan bertransformasi menjadi daratan sepenuhnya.
Penemuan fosil hewan laut seperti gigi hiu dan kerang moluska di Desa Darma Wangi menjadi bukti kuat bahwa sekitar 2 hingga 2,5 juta tahun yang lalu, wilayah Sumedang, khususnya Kecamatan Tomo, Ujungjaya, Conggeang, dan sebagian Buahdua, merupakan laut dangkal atau laut neritik. Wilayah ini kemudian berubah menjadi rawa-rawa sebelum akhirnya menjadi daratan seperti sekarang. Menariknya, fosil-fosil laut ini disebut-sebut lebih tua dibandingkan tinggalan arkeologi yang selama ini ditemukan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara itu, penelitian geologi juga menunjukkan bahwa Lembah Sungai Cisaar di Tomo telah terbentuk sejak 5 juta tahun yang lalu. Adapun wilayah yang berada dekat dengan Gunung Tampomas, seperti Kecamatan Cimalaka, merupakan zona lereng gunung api muda, bukan daratan tua yang stabil.
Di antara temuan tersebut, fosil kura-kura air tawar bertempurung besar yang ditemukan di Desa Jembar Wangi diperkirakan berjenis Geoemydidae/Orlitia sp. Fosil ini tercatat sebagai fosil kura-kura air tawar tertua dan paling utuh yang pernah ditemukan di Indonesia. Sebagai perbandingan, fosil kura-kura darat (tortoise) tertua di Indonesia ditemukan di Bumi Ayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang diperkirakan berjenis Megalochelys cf. sivalensis dan berusia sekitar 2,5 hingga 1,5 juta tahun.
Habitat Megafauna Darat dan Sungai Purba
Secara geologi, Sumedang pada era Pleistosen berada di zona busur vulkanik Sunda yang sangat aktif akibat subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia, sebuah kondisi yang sangat kontras dengan Sumedang yang tenang seperti sekarang. Gunung Tampomas, yang diperkirakan terbentuk sekitar 5,3 juta tahun yang lalu, pada masa Pleistosen masih berupa kerucut muda hasil kegiatan vulkanik Kuarter. Batuan vulkaniknya menunjukkan karakteristik magma busur kepulauan (island-arc), sesuai dengan subduksi di selatan Jawa yang menandakan aktivitas vulkanik terkait tektonik lempeng.
Daratan Sumedang di era Pleistosen juga dipengaruhi oleh aliran sungai kuno yang lebih besar dan lebar, yaitu Sungai Cipeles purba, Sungai Cimanuk purba, dan Sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Tomo–Jembarwangi. Sistem sungai ini menyimpan banyak fosil hewan vertebrata purba. Wilayah Tomo pada masa itu merupakan bagian dari suatu dataran fluvial luas yang dibentuk oleh Sungai Cimanuk purba. Sungai ini membawa lumpur, pasir, dan kerikil dari pegunungan selatan menuju utara. Ketika debit air meningkat akibat iklim basah, sungai meluap dan menghasilkan dataran banjir luas yang menjadi habitat ideal bagi fauna darat besar.
Lingkungan semacam ini mirip dengan Lembah Bengawan Solo pada masa Pleistosen dan dataran fluvial Majalengka–Cirebon purba. Endapan fluvial ini memiliki potensi besar untuk mengawetkan fosil gajah purba dan mamalia besar lainnya. Temuan fosil gading gajah jenis Stegodon trigonocephalus di Tomo pada tahun 2004 merupakan fosil gajah tertua pertama yang ditemukan di Jawa Barat. Sementara itu, fosil gajah tertua di Indonesia sendiri, berusia 2,58 hingga 5,33 juta tahun, ditemukan pada 11 Februari 2025 di situs Bumiayu, Kabupaten Brebes.
Fosil gajah purba juga ditemukan di beberapa daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Sumedang. Di antaranya adalah fosil tulang Stegodon berusia 1,5 juta tahun di Terisi-Indramayu pada tahun 2020, fosil tulang ankle dan belikat Stegodon berusia 1,2 juta tahun di Capanaruban-Subang pada tahun 2004, serta fosil gading Stegodon dari Pleistosen Awal, berusia sekitar 1,5 juta tahun lalu, di Majalengka pada 2018 dengan panjang lurus 3,30 meter dan panjang lengkung 3,60 meter.
Sebagai herbivora besar, keberadaan Stegodon mengindikasikan bahwa di masa purba, kawasan tersebut kemungkinan memiliki vegetasi memadai seperti hutan, savana, atau ekosistem campuran yang mampu menopang megafauna besar. Tak mengherankan, selain fosil Stegodon, di Desa Jembar Wangi, terutama lembah Sungai Cisaar yang secara geografis berbukit-bukit, juga banyak ditemukan fosil hewan darat lainnya seperti badak, kuda nil, rusa (Cervidae), sapi (Leptobos), babi, dan banteng purba (Bos paleosondaicus).
Menanti Jejak Manusia Purba di Sumedang
Stegodon, sebagai mamalia besar di zamannya, masa Pleistosen, secara umum memiliki tinggi tubuh hingga 3,90 meter dengan berat sekitar 4-6 ton. Dari kasus penemuan fosil di beberapa tempat seperti Sangiran dan Ngandong, banyak fosil Stegodon trigonocephalus ditemukan bersama Homo erectus, sehingga muncul dugaan bahwa gajah purba ini menjadi makanan utama manusia purba.
Penemuan fosil Stegodon di Sumedang tentunya semakin memotivasi para arkeolog untuk menemukan fosil manusia purba di daerah ini. Apalagi, perkakas manusia purba yang terbuat dari batu juga telah ditemukan di wilayah tersebut. Penemuan fosil manusia purba di Sumedang, menurut para ahli, hanya tinggal menunggu waktu. Bukan hal yang mustahil jika ditemukan, usianya akan jauh lebih tua dari yang ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Selama ini, fosil manusia purba Homo erectus yang pernah ditemukan di Jawa Barat adalah fosil gigi manusia purba di Rancah, Ciamis, pada tahun 1999, yang diperkirakan berumur 516.000–606.000 tahun. Sebagai informasi aktual, fosil tertua Homo erectus di Indonesia adalah fosil tulang paha, rahang, serta akar gigi manusia purba (Homo erectus bumiayuensis) yang ditemukan pada tahun 2025 di Bumi Ayu dan diperkirakan berusia 1,7–1,8 juta tahun.
Temuan fosil manusia purba di Rancah memberikan indikasi kemungkinan manusia sudah menghuni bagian barat Jawa sejak masa awal Pleistosen, jauh lebih lama daripada banyak asumsi lama. Hasil ini memunculkan persepsi baru bahwa kedatangan manusia purba ke Jawa bisa lebih awal, dan persebarannya lebih luas termasuk Jawa Barat, dibanding pandangan tradisional.
Potensi Besar Sumedang sebagai Rujukan Ilmiah
Meskipun fosil manusia purba belum ditemukan, Sumedang memiliki potensi besar sebagai situs paleontologi Pleistosen di Jawa Barat. Hal ini didukung oleh beberapa faktor: letaknya di Jawa Barat yang relatif masih kurang tereksplorasi dibanding Jawa Tengah, temuan fosil yang cukup beragam mencakup megafauna dan fauna akuatik, serta konteks geomorfologis yang mudah dipetakan, sehingga cocok untuk kajian stratigrafi dan paleo-lingkungan.
Temuan fosil megafauna seperti Stegodon, kura-kura raksasa, crocodylian, suid (babi), dan cervid (rusa) menunjukkan keberadaan komunitas fauna yang kaya dan mirip dengan situs-situs Pleistosen utama di Jawa. Rekonstruksi paleo-lingkungan menunjukkan mosaik habitat floodplain-savana yang mendukung keragaman tersebut. Untuk mengembangkan situs ini sebagai rujukan ilmiah, diperlukan penelitian lanjutan berupa ekskavasi terukur, analisis stratigrafi, dan penentuan umur absolut.
Tak diragukan lagi, kini Sumedang telah menjadi perhatian para ahli arkeologi dan paleontologi, bukan hanya dari Indonesia, bahkan dari seluruh dunia. Sumedang, yang telah menjadi pusat budaya dan peradaban Sunda, kini juga membuka jendela ke masa lalu yang jauh. Seperti ungkapan dalam bahasa Belanda, “Wie Sumedang bezoekt, begrijpt het hart van Sunda” (Siapa mengunjungi Sumedang, memahami jantung Sunda), kini dapat ditambahkan bahwa siapa yang meneliti Sumedang, memahami pula jantung peradaban purba di tanah Sunda.






