Nasional

Sore di Kafe Atas Bukit: Hujan Datang Tanpa Janji, Membawa Kedamaian di Hamparan Sawah

Advertisement

Langit sore menggantung rendah, tanpa petunjuk akan perubahan cuaca. Di sebuah kafe kecil yang bertengger di puncak bukit, pandangan mata lepas ke hamparan sawah yang membentang luas. Aroma kayu basah yang telah lama, berpadu dengan tanah kering dan rumput, samar tercium. Udara terasa hangat di kulit, tidak menyengat, namun cukup menenangkan.

Dari ketinggian itu, aktivitas para petani di sawah tampak kecil namun jelas. Langkah kaki mereka yang masuk ke lumpur, tangan yang sibuk, dan topi caping yang sesekali dimiringkan, menciptakan pantulan cahaya di air sawah yang tak pernah diam.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

“Kalau dilihat dari jauh gini, capeknya kelihatan, tapi kok kayak tenang ya,” ujar seorang sahabat, mengamati pemandangan.

Sahabatnya yang lain, Nara, menimpali, “Uhm iyaa. Kayaknya karena mereka tau harus ngapain. Kita yang duduk aja malah ribet mikir.”

Tawa kecil pecah. “Haduh kena juga,” balasnya.

Di atas meja, segelas es coklat berdiri dengan embun yang terus menetes. Dinginnya langsung menjalar ke telapak tangan saat digenggam. Aroma coklat naik perlahan, manis dan lembut, bercampur susu. Saat diseruput, rasa pahit-manisnya mengisi mulut dengan tenang, seolah sore itu memang tak ingin buru-buru usai.

Nara mengaduk minumannya, sedotannya beradu dengan gelas. “Minuman dingin tapi cuacanya gini tuh aneh ya,” ujarnya ringan.

“Aneh, tapi pas,” sahut temannya singkat.

Keduanya kembali terdiam. Angin bergerak pelan, cukup untuk membuat daun-daun di sekitar kafe bergeser. Hingga akhirnya, hujan turun tanpa aba-aba.

Awalnya hanya satu-dua tetes yang jatuh, lalu tiba-tiba bunyinya menjadi ramai. Atap bergetar oleh air, suara hujan bertabrakan dengan daun dan tanah. Udara berubah cepat. Bau tanah basah naik kuat, menusuk hidung.

“Eh tiba-tiba banget deh,” celetuk Nara spontan.

Pandangan ke arah sawah mulai kabur. Orang-orang yang tadi terlihat jelas kini berubah menjadi bayangan di balik tirai hujan. Topi caping mereka tampak samar, tubuh-tubuh itu bergerak lebih cepat, seolah ingin segera menyelesaikan sesuatu. Air sawah bergetar hebat oleh hujan, memantulkan cahaya secara acak.

Perhatian beralih ke sisi lain bukit. Di area vila yang masih satu lingkungan dengan kafe, dua anak kecil justru berlarian di tengah hujan. Mereka tertawa keras, pakaian menempel di tubuh. Salah satu dari mereka meloncat ke kolam kecil vila, air muncrat ke mana-mana.

“Nar, liat itu,” kata temannya sambil menunjuk ke arah vila.

Advertisement

Nara mengikuti arah jari temannya, lalu tertawa. “Mau bilang aneh tapi kayaknya seru juga berenang sambil hujan hahaha,” ujarnya.

“Iyaa sihhh, kita di sini malah ngeluh dingin,” ucap temannya sambil tertawa kecil.

“Padahal hujan buat mereka kayak bonus,” lanjut Nara.

Hujan semakin deras. Suaranya menelan percakapan lain. Bau tanah basah semakin kuat, bercampur dengan aroma kayu kafe dan sisa coklat di meja. Lalu semangkuk mi kuah datang, diletakkan pelan di depan mereka. Uapnya langsung naik, membawa aroma bawang goreng, kaldu, dan lada.

“Ini timing-nya pas banget,” ujar Nara pelan.

“Ini bau yang bikin pengen diem,” gumam temannya setelah menghirup uapnya.

Saat garpu menyentuh mangkuk, terdengar bunyi kecil. Seruputan mi bercampur dengan suara hujan, menciptakan ritme yang aneh tapi menenangkan. Kuahnya hangat, mengalir perlahan di tenggorokan, membuat tubuh terasa kembali utuh.

“Enak nggak?” tanya Nara sambil meniup uapnya.

“Enak. Apalagi pas hujan gini,” jawab temannya tanpa ragu.

Mereka makan sambil sesekali melirik ke sawah. Orang-orang yang tadi menyawah kini satu per satu keluar dari petak sawah, bayangan mereka menghilang di balik hujan. Sawah ditinggalkan dalam keadaan basah dan berkilau.

Pelan-pelan, hujan melemah. Suaranya berubah menjadi tetesan terpisah. Bau tanah basah masih tertinggal, tapi tidak lagi menekan. Udara terasa lebih ringan, seperti baru saja dibersihkan.

Sawah kembali terlihat jelas. Airnya tenang, warnanya lebih hijau dari sebelumnya. Jejak langkah orang-orang tadi tertinggal samar di lumpur. Anak-anak di vila mulai keluar dari kolam, suara tawa mereka menjauh.

Sore itu tidak membawa apa-apa yang besar. Tidak ada rencana, tidak ada kesimpulan. Hanya hujan yang datang lalu pergi, sawah yang kembali tenang, dan dua orang yang duduk diam, merasakan dunia lewat bau, suara, dan rasa yang pelan-pelan menetap di ingatan.

Advertisement
Mureks