Internasional

Said Iqbal: “UMP DKI Rp5,7 Juta Tak Cukup untuk Hidup di Jakarta”

Advertisement

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal kembali melontarkan kritik tajam terhadap penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2026. Ia menilai angka Rp5,73 juta tersebut tidak mencerminkan realitas biaya hidup di ibu kota yang kian mahal, terutama di tengah daya beli masyarakat yang terus tergerus.

Menurut Said Iqbal, kondisi ini telah menekan kelas menengah hingga harus menggerus tabungan untuk bertahan hidup. Situasi tersebut diperparah dengan kebijakan upah yang dinilai terlalu rendah.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

“Kelas menengah sekarang sudah makan tabungan. Daya beli buruh turun, daya beli masyarakat juga sedang turun. Upah murah dan rendah, ini harusnya Gubernur DKI sepaham,” kata Said Iqbal pada Kamis, 25 Desember 2025.

Ia mempertanyakan dasar penetapan indeks tertentu yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Padahal, pemerintah pusat telah memberikan ruang kenaikan upah yang lebih besar.

“Presiden sudah memberikan kemungkinan indeks tertentu sampai 0,9. Itu sudah ditandatangani Pak Prabowo. Kenapa Gubernur DKI justru nurunin? Kenapa nggak pakai 0,9?” ujarnya.

Said Iqbal kemudian memaparkan simulasi sederhana untuk menggambarkan betapa tidak masuk akalnya hidup di Jakarta dengan UMP Rp5,73 juta per bulan. Ia mengambil contoh pasangan suami istri tanpa anak yang sama-sama hidup dari upah minimum.

Simulasi Biaya Hidup di Jakarta

  • Makan sekali Rp15.000, tiga kali sehari Rp45.000. Untuk dua orang, menjadi Rp90.000 per hari.
  • Dalam sebulan, biaya makan saja sudah mencapai Rp2,7 juta.
  • Biaya sewa rumah di Jakarta minimal Rp1,5 juta. Total biaya makan dan sewa mencapai Rp4,2 juta.
  • Biaya transportasi sebulan bisa Rp1 juta. Total keseluruhan mencapai Rp5,2 juta.

“Gaji Rp5,73 juta, sisa Rp230.000. Gimana mau hidup di Jakarta?” tegas Said Iqbal.

Advertisement

Ia menyebut kondisi tersebut semakin ironis karena di lapangan, aturan yang membatasi upah minimum hanya untuk pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun kerap tidak dijalankan. “Walaupun aturannya satu tahun ke atas nggak boleh upah minimum, faktanya di lapangan tidak begitu,” ujarnya.

Said Iqbal juga menyoroti kondisi lulusan sarjana yang bekerja di Jakarta namun menerima upah yang jauh dari layak. “Coba lihat sarjana-sarjana sekarang. Banyak yang kerja di DKI cuma digaji Rp5 juta. Bahkan ada yang Rp3 juta,” katanya.

Menurutnya, masalah ini bukan hanya soal buruh pabrik, tetapi juga pekerja sektor jasa dan perkantoran yang secara tampilan terlihat mapan, namun sebenarnya hidup pas-pasan.

“Orang kerja di bank, pakai seragam rapi, make up, kelihatan ganteng, cantik, tapi upah yang diterima memprihatinkan. Banyak yang diam-diam makan tabungan di kasir,” ungkap Said Iqbal.

Ia pun mempertanyakan apakah pemerintah daerah akan memberikan kompensasi tambahan untuk menutup ketimpangan biaya hidup tersebut. “Apakah ada insentif transportasi, air bersih, BPJS? Rp230.000 itu orang bisa hidup di Jakarta? Nggak mungkin, itu nonsense,” tegasnya.

Advertisement
Mureks